Saat menerima tugas untuk menyunting buku ini, saya sedang tertular Covid-19. Tugas ini saya ambil, dan saya jadikan sebagai kaul untuk kesembuhan saya. Jika saya sembuh dari penyakit yang banyak ditakuti ini, saya tentu harus terus menggunakan kelebihan sisa umur saya untuk melakukan hal yang baik untuk sesama.
Tanpa sadar, sejak awal, saya sudah menerapkan prinsip-prinsip keutamaan yang diusung oleh Stoikisme. Beberapa orang di media sosial menilai saya dengan berbagai prasangka buruk mereka, saat melihat keputusan-keputusan hidup yang saya ambil. Namun, anehnya, saya merasa tak terganggu dengan prasangka orang lain tersebut. Saya merasa cukup, dengan fokus pada hal-hal yang sedang saya kerjakan, yang pada dasarnya akan bermanfaat bagi orang banyak. Tadinya saya berpikir, jangan-jangan saya orang yang dingin tanpa perasaan. Namun, ternyata saya “hanya” seorang Stoik.
Pertama kali saya membaca buku Meditations yang ditulis oleh Marcus Aurelius, adalah saat saya berkunjung ke Roma sekitar lima tahun yang lalu. Saat itu, saya sedang bergulat dengan patah hati, dan buku itu saya gendong ke mana-mana dan saya tandai hampir di semua paragraf. Dari buku itu saya belajar bagaimana menerjemahkan representasi yang dibuat oleh otak dengan rasional. Melihat suatu hal dengan apa adanya.
Dalam Stoikisme disampaikan bahwa otak akan memberi representasi (Phantasia) pada kita, sesuai dengan apa yang kita pernah alami di masa lalu. Misalnya, pikiran bahwa jika saya putus dari pacar, maka pasti hidup saya hancur. Sebaiknya representasi ini kita bawa ke pikiran pengendali (Hegemonikon) di hati kita, yang kemudian menilai dengan rasio atas apa yang sedang terjadi. Dari situ kita bisa mengiyakan, apa yang rasional, dan mengambil tindakan dari dorongan yang sesuai dengan tuntunan dari Hegemonikon. Dalam contoh tadi, Hegemonikon akan menyampaikan bahwa hidup saya tidak hancur. Saya hanya berhenti berkomunikasi dengan satu orang laki-laki, dan setelah ini saya bisa bangun dari tempat tidur dan pergi jalan-jalan, dan bukan mengirimkan pesan WhatsApp ke mantan saya untuk mengajak balikan.
Menjadi indifferent atau netral terhadap situasi adalah ide yang diulang-ulang dalam buku ini. Bagaimana mengambil jarak dari sebuah dorongan yang diinisiasi oleh nafsu dan senantiasa berpikir selaras dengan alam. Menjadi Stoik bukan berarti menjadi dingin dan malas karena toh semuanya netral dan sudah diatur oleh alam semesta. Bukan! Stoikisme mengimbau bahwa di masa kini, kita perlu senantiasa gembira, karena tidak ada alasan untuk tidak gembira dengan apa pun yang terjadi. Sedangkan untuk menghadapi masa depan, kita senantiasa mengambil sikap penuh pengharapan dan kewaspadaan.