“Huhaha! Serius lo, Daze? Bokap lo mau ngawinin lo sama sapi yang ada di kampung eyang uti lo? HUAHAHA!”
Oke. Aku sadar, aku telah membuat kesalahan besar dengan menceritakan kejadian semalam kepada Rinda. Sekarang, aku ingin menyumpal mulutnya dengan tempat pensil Hello Kitty-ku.
“Sapinya aja udah parah, ditambah lagi di kampung eyang uti lo! Memangnya di Jakarta enggak ada sapi yang lebih keren? Huahahaha!”
Cewek berengsek ini—yang mengaku-ngaku sebagai sahabatku—sekarang sudah benar-benar membuatku malu dengan menyuarakan masalah kawin-dengan-sapi itu secara lantang di kelas, disertai tawa mengerikan plus gebrakan meja.
“Jakarta gitu lho, apa sih yang enggak keren? Sapi-sapinya juga!” jeritnya histeris, lalu kembali tergelak. Air matanya mengalir deras.
Hebat. Aku tak tahu apa yang membuatku mau bersahabat dengan cewek sehebat ini. Hebat dalam hal membuat sahabatnya malu sampai ingin mati.
Tahu-tahu, Pak Mulyono memasuki kelas. Rinda dengan sigap berhenti tertawa, walaupun tampak jelas dia masih belum puas. Kurasa dia siap meledak kapan saja. Apa sih yang begitu lucu? Harusnya kan dia ikut sedih atau apa.
Aku berusaha tak memedulikan Rinda dan mulai berkonsentrasi pada Pak Mulyono. Dia membawa setumpuk kertas yang kuyakini sebagai LJK yang kemarin. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
“Ya, anak-anak, harap tenang. Saya akan membagikan hasil ulangan kemarin. Yang namanya dipanggil, harap maju,” kata Pak Mulyono, membuatku berhenti bernapas. “Ardi. Chandra. Edwin. Aris. Sari. Meylina. Reza. Dazafa ....” Aku tersentak kaget saat mendengar namaku dipanggil. Detak jantungku sekarang mengalami percepatan gila-gilaan. Berapa kira-kira nilaiku? Apa benar nol? Ya, Tuhan, jangan setega ini kepadaku ....
Aku melangkah ragu ke arah Pak Mulyono, lalu mengulurkan tangan yang gemetar ke arah kertas yang tergeletak di mejanya. Aku membawa kertas itu kembali ke bangkuku. Setelah mengumpulkan keberanian, aku menarik napas panjang, lalu dengan mantap membaliknya.
Delapan. DELAPAN! Astaga, delapan untuk Matematika! Delapan pertamaku sejak aku masuk sekolah ini! Keajaiban macam apa pun ini. Ya, Tuhan, aku berterima kasih kepada-Mu ....
“... Za! Daza! DAZAFA!” seru seseorang. Aku, yang sedang dilanda kesenangan gila-gilaan, jelas tidak mendengar. Aku sudah siap untuk melakukan sujud syukur saat seseorang menjawil bahuku.
Aku membalik badan, lalu mendapati Pak Mulyono berdiri di belakangku. Seluruh kelas pun memberiku tatapan aneh, seakan aku orang yang sudah tuli total.
“Ya, Pak?” sahutku riang.
“Ke sini sebentar,” katanya. Pelan, tetapi tegas. Meskipun bingung, aku mengikutinya. Ada apa, sih?
Mengganggu kesenangan orang saja.
“Ada apa, Pak?” tanyaku lagi setelah sampai di mejanya.
“Daza, kamu mengambil kertas ulangan yang salah. Itu punya Reza, ini punya kamu. Makanya dibaca dulu namanya, jangan main ambil.”
Rasanya aku kena serangan jantung. Aku pun tidak bisa merasakan lututku lagi. Tidak, tidak. Aku tak mau terbangun dari mimpi indah ini ... jangan merusaknya, tolong ....
“Daza!” sahut Pak Mulyono lagi, dan hancurlah sudah semua mimpiku.
Dengan berat hati, aku menyerahkan kertas ulangan itu kepada Reza, lalu mengambil kertas milikku dari tangan Pak Mulyono. Aku membaliknya pasrah.
Tiga. Tiga ketiga dalam sejarah kematematikaanku selama tahun ketiga di SMA.
Kurasa, angka tiga mungkin angka sialku.
***
“Gimana sekolah kamu, Daze?” tanya Bunda saat makan malam.
Nasi yang sedang kukunyah hampir tersembur keluar begitu aku mendengar pertanyaan itu. Kemudian, aku mencoba untuk tetap kalem, sementara di saat yang sama, otakku berpikir keras.
“Sekolah tetep sama, Bunda. Pagarnya masih abu-abu, gentingnya masih merah ....”
Aku tahu, banyak yang tersedak saat aku mengatakannya.
“Lo bisa juga ya ngebanyol?” sindir Dennis, tetapi aku yakin sekali tadi dia ikut mendengus.
“Kamu kenapa sih, Sayang? Ada masalah ya di sekolah?” tanya Bunda lagi sambil tersenyum lembut kepadaku, membuatku jadi tak enak telah mempermainkannya tadi.
“Enggak ada apa-apa kok, Bun,” dustaku.
“Kalo ada masalah lebih baik dibicarakan aja,” kata Nenek, disambut hangat oleh beberapa anggota keluargaku yang lain.
Aku menatapnya penuh haru. “Bener kok Nek enggak ada apa-apa.”
Sesaat, aku seperti mengetahui bagaimana rasanya punya keluarga normal yang sebenarnya: saling mendengarkan, saling menenangkan, dalam acara makan malam yang hangat dan menyenangkan ....
“Ah, bohong tuh, Nek. Paling lagi marahan sama cowoknya,” sambar Zenith tiba-tiba, membuat keluargaku kembali sama tak normalnya seperti hari-hari sebelumnya.
***
“Daze.”
Kepala Zenith muncul di sela pintu kamarku. Aku benar-benar ingin melemparnya dengan rumah Barbie, tetapi aku tak rela mengeluarkan sedikit pun energi untuk melakukannya.
“Apaan?” sahutku ketus tanpa mengalihkan pandangan dari Cinemags.
“Gue pinjem jangka, dong,” katanya sambil memasuki kamarku tanpa meminta izin. Aku curiga selama ini di pintuku ada tulisan WC UMUM tanpa sepengetahuanku. “Tumben, pinjem jangka. Biasanya lo enggak pernah belajar,” kataku, sedikit heran.
“Siapa bilang gue lagi belajar? Gue lagi ngegambar mobil balap. Dari tadi gue coba bikin ban pake duit receh, tapi jadi enggak sinkron gitu, kekecilan.”
“Oh,” gumamku maklum. “Ambil sendiri di tas.”
Harusnya aku tahu. Zenith tidak pernah belajar. Dia mengingatkanku kepada seseorang, hanya saja dia tidak akan dijodohkan dengan sapi betina kalau dia tidak lulus SMP. Oh, memikirkannya lagi membuatku sakit perut.
“Apa ini?” tanya Zenith tiba-tiba.
“Apaan?” Aku balas bertanya tanpa menoleh.
“Ini.”
“Ya, apaan?”
“Ini, lho.”
Karena kesal sekaligus penasaran, aku menoleh ke arahnya, dan mendapati dirinya sedang memegang kertas-kertas yang aku yakini sebagai koleksi angka tigaku.
OH, TIDAK!
Senyum licik muncul di wajahnya. “Lo pasti belum kasih tahu Ayah.”
“Lo enggak punya hak kasih tahu dia!” sahutku panas. “Lagian, gue enggak mau!”
“Lho, kenapa? Lo udah lupa? Keluarga ini welcome terhadap segala keanehan, kan? Lagi pula, bukan hal aneh kalo lo bego. Biasa aja.”
“Biasa aja kalo lo yang bego!” seruku sengit.
Zenith terkekeh. “Oh, jadi lo enggak bego. Ya, memang sih lo mungkin bisa dapet jackpot saking pinternya ngumpulin angka tiga.”
“Udah, enggak usah banyak omong! Balikin itu kertas!” sahutku sambil bangkit.
“Enggak usah, ya.” Zenith dengan cepat melesat ke pintu, lalu melambai-lambaikan kertas-kertas itu. “Gue. Mau. Ke. Ayah. Sekarang.”
Kemudian, dia menghilang. Membawa serta kertas- kertas ulanganku.
I’m dead. Really-really dead.
***
Jadi, di sinilah aku. Di ruang keluarga yang sekarang lebih mirip ruang sidang bagiku. Ruangan yang sama dengan yang pernah kami tempati ketika Tante Amy bilang dia ditinggal suaminya begitu hamil. Namun, aku rasa keadaanku jauh lebih parah dari Tante Amy saat itu, mengingat dia rela dengan kehamilannya, sedangkan aku sama sekali tidak rela dengan kebodohanku.
Seluruh keluargaku sudah berkumpul dan aku tidak bisa menebak pikiran mereka. Aku duduk di kursi terdakwa di tengah ruangan—yang omong-omong dibuat sangat norak dengan warna merah menyala. Mereka mengartikan kata ‘hot seat’ terlalu harfiah.
Ayah berdeham pelan, membuat semua perhatian terarah kepadanya. Aku sendiri hanya bisa menunduk pasrah, mengira-ngira arti dari dehaman itu.
Apa yang akan terjadi padaku? Apa aku akan dimasukkan sekolah asrama? Atau dipindahkan ke SMA terpencil di kampung Eyang Uti, yang berarti aku akan bangun pukul 04.00 pagi setiap harinya, lalu berjalan sejauh 5 kilometer, hingga aku sampai di sekolah itu dalam keadaan setengah pingsan? Oh, tidak!
“Daza.” Ayah berkata pelan, tetapi tegas, sementara aku menunduk semakin dalam. “Ayah rasa, kamu pasti sudah tahu alasan kamu dipanggil ke sini, kan?”
Aku mengangguk sangat perlahan, seolah dengan melakukannya sedikit lebih jelas maka kesalahanku bisa jadi lebih fatal.
“Ayah ...,” lanjut Ayah lambat-lambat, membuatku memejamkan mata, pasrah menerima vonisnya. “Ayah enggak marah, kok. Ayah dan Bunda sudah tahu soal ulangan kamu yang triple tiga itu.”
Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna kalimat itu. Detik berikutnya, aku mendongak tak percaya. Ayah tidak marah! Dia tidak marah! Namun, tunggu dulu. Apa maksudnya dia sudah tahu soal ini? Jelas saja dia tahu, bukankah Zenith baru saja memberi tahu mereka?
“Ayah dan Bunda terima laporannya setiap bulan dari sekolah kamu,” katanya santai, seperti baru mengatakan sesuatu yang sudah jelas seperti dia terima tagihan kartu kredit setiap bulan. Dia sama sekali tidak menunjukkan usaha untuk memedulikan wajahku yang sekarang persis orang idiot.
“APA?!” sahutku kencang. Seenaknya saja mereka minta laporan dari sekolah masalah nilai-nilaiku. Anak mana yang dimata-matai orangtuanya sendiri?
“Jangan marah, ya, Daze,” ujar Bunda—yang tak bisa kupercaya. Bagaimana aku bisa tidak marah?
“Jadi, Ayah sama Bunda enggak percaya sama Daza?” seruku kesal. ”Ngapain sih pake minta-minta laporan segala!”
“Jelas enggak percaya, lah. Nyatanya, lo nyembunyiin ulangan lo yang triple tiga.” Zenith menyambar tanpa diminta.
Aku sedang sangat ingin membunuh seseorang saat ini dan Zenith jelas ada di posisi pertama dalam daftarku. “Tapi kamu hebat lho, Daze,” kata Om Sony tiba-tiba.
“Om aja dulu susah banget ngoleksi gitu. Pernah dapet tiga dua kali berturut-turut, tapi yang ketiga malah dapet 1,25 ....”
Terima kasih, lho, Om. Aku terhibur.
“Ngoleksi tuh nilai sembilan dong, kayak gue. Ngoleksi kok, tiga.” Dennis menggeleng-gelengkan kepala dengan tampang sok. Memangnya aku mau mengoleksi angka tiga??
“Itu kan buat kebaikan kamu juga, Daze. Kalo enggak begitu, mau sampai kapan kamu nyembunyiin ulangan kamu? Makanya, kita sekarang mau kasih kamu solusi,” kata Kakek bijak. Aku jadi bahagia punya kakek seperti dia. Setidaknya, dia tidak menyudutkanku seperti semua orang.
“Iya, Daze, makanya mulai sekarang, kamu jangan ragu kalo ada masalah. Cerita aja sama kami ...,” sambung Nenek, membuatku lebih bahagia karena Kakek sudah menikahinya.
“Masalahnya ... aku enggak bisa matematika,” kataku jujur.
“Bukan masalah. Minta ajarin aja ke Dennis,” saran Tante Amy.
“DIA??” sahutku dan Dennis berbarengan dengan telunjuk saling teracung ke wajah masing-masing. “Tante serius??” seru kami lagi.
Hubunganku dan Dennis memang tak pernah baik. Waktu kami kecil, Dennis sering menendangku tanpa alasan, tetapi Bunda bilang dia hanya iri. Iri apa, iri karena aku perempuan?
Tante Amy mengangkat bahu sambil melempar tatapan oh-baiklah-aku-akan-tutup-mulut ke arah kami. Keputusan cerdas. Usulnya tadi sama buruknya dengan memintaku menceburkan diri ke kawah Ijen.
“Ayah punya saran bagus. Kamu pasti suka dan bakal betah di rumah,” kata ayahku sok misterius. Aku memandangnya ingin tahu. Semoga saja usul ini tidak berhubungan dengan sapi atau salah satu dari anggota keluargaku. “Nanti juga kamu bakal tahu. Pokoknya kosongin jadwal hari Senin sampai Sabtu.”
“Apa?! Senin sampai Sabtu, Yah?” seruku, mendadak ngeri.
“Ya. Senin sampai Sabtu. Enggak ada tawar-menawar.” Aku segera tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir bagi kebebasanku.
***
“Jadi, lo mau diapain sama bokap lo?” tanya Rinda esok harinya di kelas.
“Mana gue tahu. Kayaknya gue bakal dikarantina gitu, deh,” keluhku, dalam hati berharap setengah mati itu tidak terjadi.
“Heran gue sama bokap lo. Hari gini kok masih ada acara pingit-pingitan.”
“Lo heran? Gimana gue?” sungutku. “Udah ah, jangan dibahas terus. Suntuk gue mikirin lo enak-enakan nonton di bioskop, sementara gue terkurung di rumah.”
Rinda tertawa puas, sepertinya senang aku menderita. Sahabat macam apa yang aku punya ini?
“Daze!”
Sebuah suara cempreng membuatku celingak-celinguk. Alinda, salah satu teman sekelasku, tampak melongok di pintu kelas, melambai ke arahku.