Meet The Sennas

Noura Publishing
Chapter #3

Throbbing Heart

“Kusut amat tampangnya.”

Tante Amy segera mengomentari wajahku saat makan siang. Hari ini aku pulang cepat, karena ada rapat-entah-apa di sekolah. Biasanya aku suka pulang lebih awal, tetapi akhir-akhir ini tidak lagi. Untuk apa pulang awal kalau tidak bisa main?

Aku cuma mengedikkan bahu, malas mengangkat topik tentang Logan. Bunda menyendokkan nasi ke piring Pooh-ku, lalu menghiasnya dengan nuggets dan sosis. Kegemaranku ini membuat semua orang di rumahku mengataiku bocah SD, dan aku jadi teringat kata-kata Logan semalam.

Semuanya sekarang tiba-tiba jadi soal Logan. Aku jadi mual.

“Amy, kamu harusnya periksa ke dokter.” Bunda tahu-tahu berkata lembut, mengalihkan perhatianku dari serigala jelek itu. “Sudah lama kan semenjak kamu terakhir periksa? Kasihan bayi kamu.”

“Aku males banget nih, Kak. Di sana kan lama nunggunya. Mana dokternya enggak ada yang keren lagi,” keluh Tante Amy manja.

“Kamu tuh suka aneh-aneh aja. Ayo, sana diperiksa, siapa tahu kenapa-kenapa.”

“Enggak ada temennya.”

Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Pasti sebentar lagi ....

“Kan, ada Daze. Daze, kamu anterin Tantemu, ya.”

Benar, kan. Pasti aku. Meskipun malas, aku mengangguk. Tante Amy sendiri tampak berbinar-binar. “Asyik! Kamu memang keponakanku yang paling baik.

Ayo cepetan, ntar pasiennya rame, lagi.”

Melihat Tante Amy kelewat bersemangat seperti ini, pasti ada yang tidak beres. Tante Amy paling malas kalau diajak ke dokter—sekalipun untuk memeriksakan darah dagingnya sendiri.

Aku bangkit dan mengikutinya ke luar rumah menuju Audi hitamnya.

“Nah, sekarang kan udah enggak ada Bundamu,” katanya begitu masuk ke mobil. “Jadi ... gimana kalo kita ke salon aja?”

Mulutku menganga lebar. Aku memang bukan keponakan yang baik, tetapi aku tetap tidak setuju dia mengajakku membohongi Bunda. Juga janinnya.

“Tapi, Tan, Bunda kan nyuruh Tante—”

“Udah, deh,” potongnya cepat. “Enggak bakal ketahuan, asal kamu mau kerja sama dengan Tante.”

Sebelum aku sempat memberi respons, Tante Amy sudah menancap gas dan mengambil ancang-ancang untuk belok kiri, ke arah yang sama sekali berlawanan dengan dokter kandungan.

“Enggak!” Aku menyahut serius sambil menahan setir mobil. “Tante tetap harus ke dokter.”

Tante Amy memandangku penuh harap, tetapi aku tidak tergerak oleh kedua mata indahnya yang berkaca-kaca.

“Sekali enggak, ya tetap enggak. Kita ke dokter, atau enggak sama sekali,” tekanku.

Setelah menghela napas dan mengembuskannya kesal, Tante Amy membelokkan setirnya ke kanan.

***

“Tuh lihat, mana, enggak ada cowok keren satu pun. Kalo ada juga penyakitan. Di mana asyiknya pergi ke dokter coba, di mana?” Tante Amy tak henti-hentinya mengeluh selama perjalanan dari rumah hingga ke rumah sakit. Telingaku jadi pengang dibuatnya.

“Tante nih, apa-apaan, sih? Yang bilang ke dokter bakal asyik tuh, siapa?” seruku sebal. “Lagian, siapa sih yang perlu? Aku atau Tante? Kok, jadi aku yang maksa Tante ke sini?”

“Lho, Tante juga enggak ada perlu di sini. Makanya, tadi Tante ajak kamu ke salon. Tante perlunya creambath, bukan berobat.”

Aku benar-benar takjub melihatnya. Bisa-bisanya dia lupa kepada apa yang ada di rahimnya.

“Tante nih udah kena amnesia, ya? Aku ingetin aja ya, Tante itu lagi hamil!” Aku mencoba untuk tidak menyahut, tetapi darahku sudah sampai ke ubun-ubun. Beberapa pasien melirik kami dengan ekspresi terganggu.

“Yah, bener, sih,” katanya dengan tampang sok polos. “Tapi, memangnya orang hamil enggak boleh creambath?” Kalau saja membunuh tidak berdosa, sudah kucincang dia sekarang.

“Tante, udah deh, enggak usah belagak pilon. Ayo, kita cari ruang dokter kandungannya.” Aku menyeretnya ke bagian informasi, lalu naik ke lantai tiga dan mencari sebuah ruangan dengan papan nama dokter kandungan. Di depan ruangan itu sudah banyak ibu hamil yang menunggu giliran. Hampir semuanya tampak hamil tua.

“Ya, ampun ...,” gumam tanteku pelan. “Nanti, aku bakalan jadi kuda nil kayak mereka?”

“Sssttt!” desisku galak. “Tante, jangan berisik, dong.”

Aku memilih dua kursi untuk kami duduki. Di sebelah kami, duduk seorang ibu berusia tiga puluhan yang menurutku sudah seharusnya melahirkan, dilihat dari perutnya yang berukuran jumbo. Tanteku memandangnya seolah melihat hantu atau apa, yang kemudian dibalas ibu itu dengan delikan galak.

“Daze ... tolong, Tante enggak mau kayak gitu ...,” rengek Tante Amy.

Memangnya aku bisa berbuat apa? Menusuknya dengan jarum supaya kempis?

“Tante ini gimana, sih? Itu kan udah kodrat wanita. Maunya Tante ini apa, hamil tapi tetep langsing, gitu?”

“Kamu kayaknya udah lebih siap daripada Tante deh gimana kalo dipindahin aja?”

Aku melotot ke arahnya. Bisa-bisanya dia menyarankan hal yang tidak masuk akal seperti itu. Namun, sebenarnya aku juga tidak tega. Umurnya baru dua puluh dua tahun, dan tempat ini membuatnya tampak jauh lebih tua.

Dua puluh menit berlalu sampai akhirnya tempat ini sepi. Selain kami berdua, hanya ada seorang laki-laki yang aku yakini suami dari ibu hamil yang tadi duduk di sebelah kami. Tak lama kemudian, ibu itu keluar dari kamar dokter, lalu melewati kami begitu saja tanpa sedikit pun melirik. Aku memakluminya karena aku yakin dia masih dendam—dan mungkin juga iri—kepada Tante Amy. “Nyonya Amy!” seru suster. Menurutku, dia tak perlu berteriak seperti itu, toh tanteku memang pasien terakhir.

Aku dan Tante Amy bangkit, lalu bergerak menuju kamar periksa.

“Nona!” ralat Tante Amy kepada suster sebelum kami masuk, membuatku—dan seharusnya dirinya sendiri—malu. Namun, aku tahu Tante Amy. Dia tak punya urat malu. Seperti halnya semua keluargaku.

“Siang, Dok,” sapaku, mewakili Tante Amy yang tampak sama sekali tak berminat. Kami masuk ke sebuah ruangan bernuansa putih dengan berbagai alat canggih di pojok. Bunda memang menyarankan untuk pergi ke rumah sakit ini karena selain alat-alatnya lengkap, dokternya pun profesional.

“Pagi,” balas seorang dokter yang memunggungi kami. Begitu dia memutar tubuhnya, aku tahu aku dan Tante Amy menahan napas berbarengan.

Dokter itu bukan dokter biasa. Dia tinggi, tegap, tampan, dan masih lumayan muda, kira-kira awal tiga puluh atau akhir dua puluhan. Ini sama sekali tidak sesuai dengan deskripsi Bunda. Dia bilang dokternya seorang profesor berkepala botak berwajah keriput! Aku tidak tahu Bunda punya penglihatan buruk!

Aku melirik Tante Amy, dan merasakan semangatnya yang berkobar-kobar—yang rasanya 10 menit lalu masih redup cenderung padam.

“Halo, Dokter! Dokter ini namanya siapa?” tanyanya centil sambil menyerobot duduk di kursi dengan ceroboh.

Janinmu, Tante, sial!

“Eh ... saya dokter Rino. Saya menggantikan dokter Purnomo karena beliau sedang seminar di luar negeri.” Dokter Rino membetulkan posisi kacamata berbingkai hitamnya, lalu menatap arsip di tangannya. “Nyonya ini ....”

“Nona,” potong Tante Amy. “Saya sudah bercerai.” Dokter Rino mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya berkata, “Oh.”

Tanteku ini betul-betul tak tahu diri. Aku kasihan pada dokter Rino. Dokter Rino sendiri sekarang mengangguk-angguk paham, tetapi kelihatan agak canggung memeriksa seorang pasien hamil yang sudah tidak punya suami, baru berusia dua puluh dua tahun, lagi.

“Dokter?” tanya Tante Amy lagi.

“Ya?” Dokter Rino menjawab ramah.

“Dokter sudah punya istri?”

Dokter Rino pun bengong mendengar pertanyaan Tante Amy.

***

Aku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti. Ini hari Minggu. Seharusnya hari Minggu adalah satu-satunya hari kebebasanku dari makhluk kejam bernama Logan. Namun, hari ini dia ada di sini, di meja makan, sedang menikmati makan malam bersama kami! Ya, ampun ... belum puas rupanya dia bertemu denganku enam kali seminggu! Aku saja sudah muak!

“Ayo Logan, yang banyak makannya ...,” rayu Bunda, yang sepertinya adalah biang dari segala ketidakadilan ini.

Logan tersenyum kepada Bunda. “Udah, Tante. Cukup, kok.”

Tante? TANTE? Sejak kapan??

“Yah ... enggak enak, ya?” tanya Bunda dengan wajah merajuk.

Heran. Sudah tahu ada Ayah, Bunda masih saja genit. “Oh, bukan .... Enak, kok, enak banget.”

Aku mengernyit heran. Kenapa Logan bersikap sangat manis di depan keluargaku, tetapi berubah menjadi monster kalau sudah ditinggal berdua denganku? Dasar tukang cari muka. Digaji berapa sih oleh Ayah?

“Jadi ... gimana perkembangan Daza?” tanya Ayah kepada Logan.

“Yah, jangan ngomongin soal itu, dong,” sambarku sebelum Logan sempat menjawab. Namun, seakan suaraku cuma angin sepoi, Logan malah dengan ringan menjawab pertanyaan Ayah.

“Lumayan bagus kok, Om,” katanya, hampir membuatku tersedak. Apa aku tidak salah dengar? Apa barusan dia mengatakan hal yang bagus tentangku? “Sekarang dia sudah bisa membedakan antara tanda bagi dan sama dengan.”

Ha-ha-ha. Lucu sekali. Seluruh keluargaku terbahak, sementara aku hanya mendengus. Sepertinya, Logan lebih cocok jadi anggota keluarga ini daripada aku.

“Lo, ntar sebelum pulang, bisa ke kamar gue dulu, enggak? Ada yang mau gue tunjukin, nih,” kata Dennis, membuatku seperti mendapat momen ‘eureka’.

GAY! Logan gay! Dengan Dennis! Logan pacaran dengan Dennis dan itu menjawab semua pertanyaanku! Kenapa dia sangat galak kepada cewek, kenapa dia mau datang terus ke rumah ini, padahal dia tahu kalau aku mungkin anak paling bego yang pernah diajarnya, semua terjawab! Dan APA yang mau Dennis tunjukkan kepada Logan? Ugh, aku sama sekali tidak bermaksud memikirkannya. “Boleh aja,” jawab Logan santai, membuat nafsu makanku hilang sepenuhnya.

Tepat ketika aku mendorong piring, Tante Amy muncul dan mengempaskan diri ke sebelahku. Dia memang tidak mau turun makan dengan alasan mual saat dipanggil tadi. Perhatian seluruh keluargaku sekarang tertancap padanya. “Kenapa, Tan?” tanya Zenith mewakili rasa penasaran keluargaku—kecuali aku, tentunya. Aku sudah tahu ini semua pasti tentang dokter muda yang malang kemarin.

Jadi, aku cuma meraih jus jerukku dan meminumnya. “Ah, enggak apa-apa,” jawabnya sok misterius, senyumnya dari tadi tidak hilang-hilang. “Enggak percaya,” tandas nenekku.

“Ya deh, aku memang enggak bisa nyimpen rahasia.” Tante Amy menyerah—terlalu mudah menurutku. “Aku-udah-nemu-calon-suami!”

Untuk kedua kalinya malam ini, aku tersedak. Calon suami, katanya??

Seperti yang sudah kuduga, keluargaku sekarang menegakkan punggung mendengarkan cerita Tante Amy. Mereka pernah menyarankan bermacam-macam jenis cowok untuk jadi suami Tante Amy yang berikutnya, tetapi selalu ditolak dengan alasan terlalu tua, tidak modis, tidak kece, tidak kaya, pokoknya segala yang berhubungan dengan masalah duniawi.

“Yang bener?” seru Bunda takjub disambut anggukan kepala Tante Amy. “Kayak apa orangnya?”

Mata Tante Amy menerawang membayangkan dokter Rino. “Dia itu dokter, muda, cakep, single, pokoknya keren, deh!”

Yap, kecuali kenyataan kalau dia belum tentu suka juga kepada Tante Amy.

Aku memutuskan untuk tidak mendengarkan cerita Tante Amy yang semakin lama semakin mengada-ada, lalu kembali memperhatikan Logan. Siapa tahu, dia dan Dennis sedang melakukan sesuatu yang tidak masuk akal seperti main mata, atau tendang-tendangan .... Ah, kenapa baru terpikir olehku? Siapa tahu mereka memang sedang tendang-tendangan.

Dengan sengaja aku menjatuhkan garpu, lalu cepat- cepat menyelinap ke kolong meja makan, mencari tahu apa kaki Dennis sama Logan bersentuhan atau apalah. Aku harus menangkap pergerakan sekecil mungkin yang dapat dilakukan oleh kaki mereka—lebih bagus lagi kalau aku bisa mengabadikannya dengan ponsel dan menggunakannya sebagai senjata kalau-kalau Logan berani macam-macam denganku—tetapi bodohnya aku, kaki mereka ada di tempat masing-masing dan tak mungkin bisa bersentuhan karena mereka duduk berjauhan.

“Hayo! Ngapain lo di situ? Ngintip, ya?” Teriakan Zenith mengagetkanku, membuat kepalaku menghantam meja makan dengan bunyi duak keras. Yang sedang makan serasa terkena gempa, aku sendiri serasa kejatuhan Hulk.

Sekarang, seluruh keluargaku menyaksikanku memegangi kepalaku yang berdenyut menyakitkan sambil merintih. Sialan si Zenith! Dari lahir selalu saja menggangguku. Aku membalas tatapan keluargaku dengan cengir kaku, lalu kembali duduk dengan susah payah.

“Cari garpu.” Aku mengacungkan garpu yang tadi kujatuhkan.

Seluruh keluargaku ber-oh ria, kecuali Logan. Jelas saja, dia bahkan bukan keluargaku. Dia malah menatapku sinis. Apa-apaan sih dia? Aku kan bukan mau mengintipnya. Yah, memang iya sih, tetapi kan bukan mengintip yang macam-macam. Yah, macam-macam sih, tetapi ... ah, sudahlah.

Sepuluh menit kemudian, acara makan malam selesai, tetapi cerita Tante Amy belum selesai, sehingga mereka berniat melanjutkannya di ruang keluarga. Sepintas, aku mendengar Tante Amy berniat meminta Yohanes atau siapalah untuk membuatkan gaun pengantinnya. Gila, khayalan tingkat tinggi! Seolah dokter Rino sudah jadi tunangannya!

Aku tidak mengikuti mereka dan memutuskan untuk naik ke tempat tidur karena mengantuk berat, lagi pula Tante Amy akan terus mengada-ada sampai keluargaku bosan.

Sebelum naik tangga, aku melihat Logan mengikuti Dennis menuju kamarnya. Hiii ... mau apa mereka? Meskipun penasaran, aku langsung mengenyahkan pikiranku untuk mengintip ke kamar Dennis—takut tiba- tiba muntah di depan kamarnya. Kegiatan sekecil apa pun yang melibatkan kakakku dan guru privatku yang sama-sama menyebalkan, pasti dapat dengan mudah membuatku mual.

Aku benar-benar BERUNTUNG.

Punya paman pengangguran, tante delusional, adik suka ikut campur urusan orang, kakak gay, guru privat pasangan gay kakakku ... apa lagi yang harus aku punya? Pacar seekor simpanse? Kurasa, itu pun akan dianggap biasa di rumah ini.

Lihat selengkapnya