Chapter 2 || Mengikuti pujaan hati
Aku suka baca novel, suka makan mie, nonton film action, thriller dan sci-fiction, tapi tidak suka film horror. Bukan karena penakut—pemberani aslinya—cuma rada parnoan kalau selesai nonton film horror. Tiba-tiba jadi takut ke toilet, takut ke dapur, takut keluar kamar. Kata orang aku pendiam dan suka menyendiri di sudut kelas sambil baca novel. Selain itu, aku bukan tipe yang suka diperhatikan. Sering menekan aura kehadiran agar tidak ditunjuk menjadi macam-macam, seperti sekretaris kelas atau bendahara kelas. Meskipun tak suka jadi pusat perhatian, nyatanya orang-orang tetap membicarakanku karena sering ceroboh. Contohnya, kejeduk pintu kelas karena jalan sambil baca novel di handphone. Resleting rok lupa ditarik. Muntah saat upacara bendera, dan menumpahkan jus jeruk di baju guru killer karena jalan sambil baca novel lagi. Yah, karena hal itu, aku jadi terkenal di sekolah tanpa perlu berusaha.
Intinya, aku itu introvert. Selama tiga tahun di SMP saja, aku gak punya teman dekat yang benar-benar dekat. Karena menyendiri lebih menyenangkan bagiku. Energiku selalu terisi penuh rasanya jika menghabiskan waktu seorang diri. Namun, semua itu berubah sejak aku memasuki jenjang SMA. Aku telah menemukan hal baru yang ternyata lebih menyenangkan dibandingkan membaca novel sendirian. Aku masih ingat dengan jelas hari itu senyum manis di wajahnya yang terpantulkan cahaya mentari bak mendapat kiriman cahaya dari surga. Aku spontan mendeskripsikan wajahnya blasteran Indonesia-Surga. Dia, si siswa penyerahan simbolis yang aku kasihani saat upacara penyambutan ternyata adalah pemilik wajah itu. Dia, Darvan Putra Ananta.
Aku tiba-tiba terobsesi padanya. Setiap kesempatan yang ada akan kumanfaatkan untuk melihatnya meskipun kami berbeda kelas. Aku juga tidak lupa mencari segala macam informasi tentangnya. Arnina, teman pertamaku di sekolah ini juga ikut membantu. Selain tampan, dia juga cerdas tak terbatas. Tahun lalu dia memenangkan medali emas olimpiade matematika tingkat SMP. Nilai Ujian nasionalnya juga tertinggi se-Jakarta dan kedua se-Indonesia.
Mendengar hal tersebut, aku sontak melonggarkan tubuh dan tersandar lemah di kursiku. Ternyata perbedaan jarak kelasku dan dia bukan tanpa sebab, melainkan kita memang beda dunia. Astagfirullah. Inginku menyerah.
Eits. Tidak semudah itu dong. Aku sudah terlanjur suka berat sama Darvan. Mana bisa putar balik. Nyungsep yang ada.
“Udah nyerah aja. Cari yang realistis aja, Dan. Dia terlalu High untuk kita yang Low.”
“Gak bisa, Nin. Udah Sayang.”
“Eh buset mulut lo luwes banget bilang sayang. Kayak dia yang membesarkan lo dari lahir aja.” Alvino menyambar pembicaraanku dan Arnina.
Aku memicingkan mata karena kesal. Vino pun mengangkat dua jarinya membentuk huruf V tanda damai.
“Masih mikirin cara dekatin Darvan yah?” tanya Naura yang datang dari luar kelas. Di belakangnya ada Ruri yang sedang diikuti oleh Chandra. Dia mencoba berbagai cara agar fokus Ruri dari ponsel teralihkan kepadanya. Aku tertawa sesaat ketika Ruri memukul bahu Chandra kesal karena menyentuhkan sehelai rumput ke telinga Ruri.
“Masihlah.” Arnina yang menjawab.
“Tahu gak, yang lebih cocok sama Darvan itu, Ruri karena mereka sama-sama pintar.” Vino berargumen seenaknya.
“Kok gue?”
“Kok Ruri.” Chandra ikut bertanya. Maklum, Chandra sudah mendeklarasikan diri bahwa dia menyukai Ruri. Gadis pintar namun dingin bagai ratu es.
“Sabar, Chan. Bacotnya Vino emang suka gak ada akhlak.” Naura menengahi. Dia tahu betul sifat Alvino karena sudah mengenalnya sejak sekolah dasar. Naura, Ruri dan Alvino satu sekolah sejak SD. Naura dan Ruri adalah saudara sepupu, jadi wajar. Kalau Alvino, hanya kebetulan. Sedangkan Arnina dan Chandra pernah sekelas saat SMP, jadi mereka juga sudah saling kenal. Hanya aku yang tidak kenal siapa-siapa di sekolah ini karena dari SD sampai SMP aku tinggal di Bogor. Baru dua bulan yang lalu keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Saat orientasi sekolah, kami semua dipertemukan dalam satu kelompok. Itulah mengapa kami menjadi akrab.