MEGHANMORPHOSELF

Salmah Nurhaliza
Chapter #2

Meghan Chalondra

Tak ada yang tahu, kalau lagu-lagu di kamar Meghan bukan lagi hanya lagu-lagu keras milik Evanescence. Hampir setahun, musik rock itu harus berbagi waktu dengan lagu-lagu cinta milik grup band Indonesia, Ungu. Baginya, lirik-lirik romantis dan sendu dengan nada-nada mellow itu begitu mewakili perasaannya.

Jatuh cinta. Untuk pertama kalinya dia memiliki sebuah perasaan yang begitu menggelitik, seolah simfoni indah mengalun merdu di tiap hela napasnya. Rasanya damai, tapi juga gelisah. Kadang dia tersenyum sendiri, tak jarang pula menangis diam-diam.

Memang tak ada yang salah dengan perasaan cinta. Namun, jika jatuh cinta pada orang yang tak seharusnya dan dalam kondisi yang juga tak seharusnya, maka buah yang akan dipetik mungkin hanyalah kekecewaan. Terlebih lagi rasa itu terpenjara dalam hukum tak tertulis bernama persahabatan dan profesionalitas.

Dia harus memilih: menyuburkan kuntum-kuntum cinta yang telah bermekaran dengan risiko terluka oleh durinya, menggenggam erat prinsip persahabatan dan melupakan perasaan indah itu, atau mengesampingkan ego demi profesionalitas.

Sayangnya, dia sama sekali tak bisa memilih, tapi tak mungkin juga untuk tidak memilih. Maka, dia mengambil pilihan keempat. Pilihan yang diciptakan sendiri dan menurutnya adalah yang terbaik. Meghan memilih untuk merahasiakan tentang cinta itu dari sahabat-sahabatnya dan tetap bersikap profesional meski yang membuat kesalahan adalah seorang yang sangat dicintainya.

Meghan kembali membaca pesan-pesan yang dikirim pemuda yang telah merajai hati dan pikirannya beberapa bulan terakhir. Manis. Penuh perhatian.

“Kenapa lo, Kak, senyum-senyum sendiri?” Sebuah pertanyaan menyentak Meghan hingga ponsel pintarnya terlepas dan jatuh ke tempat tidur.

“Apaan, sih, lo? Ngagetin aja!” maki Meghan sambil meraih ponselnya. Aroma segar Kenzo Bamboo merambat halus ke indra penciumanya. “Wangi banget lo, mau nge-date, ya?”

Malvin nyengir. “Iya. Pinjem mobil lo, dong, Kak.” Pemuda berusia 19 tahun itu nyelonong masuk ke kamar Meghan dan mencomot makanan ringan rasa keju di dalam toples, yang tergeletak di atas nakas kayu jati di sebelah kanan tempat tidur Meghan yang luas. Tiba-tiba dia tertawa.

Kening Meghan berkerut. “Kenapa lo?”

“Sejak kapan lagu-lagu lo kayak gini?” Malvin masih meneruskan tawa.

Meghan mendengkus. Buru-buru dia mematikan musik lewat remot kontrol. Remaja tinggi berambut model undercut yang berdiri di sebelah tempat tidurnya terus-menerus tertawa dengan tampang yang sangat menyebalkan.

“Nggak usah rese! Tuh, kuncinya di atas piano. Habis itu langsung keluar!”

Malvin mengangkat bahu. Dia berjalan santai ke arah piano yang berada di sudut sebelah kiri dekat dengan jendela. Gorden tipis berwarna putih polos sempat berayun tertiup angin dan sedikit menerpa wajahnya. Usai mengambil kunci, dia langsung melangkah keluar. Namun, sebelum mencapai ambang pintu, pemuda tinggi itu kembali menggoda kakak satu-satu tersayangnya.

“Lagi jatuh cinta ya lo, Kak? Sama siapa? Bang Virgo?” Sebuah lemparan bantal diterima Malvin sebagai jawaban, tapi bantal itu justru ditangkap oleh Virgo. “Nih, orangnya ada di sini.” Malvin terbahak puas sambil melirik Virgo yang bersandar di kusen pintu sambil memeluk bantal.

Lihat selengkapnya