Sejak dokter memvonis bahwa jantungnya mengalami kerusakan tiga tahun lalu, hari-hari yang dilalui Virgo hanyalah untuk menunggu kematian. Ya, kematian, hal yang bisa datang kapan saja tanpa permisi. Dan Virgo merasa dia begitu dekat dengan akhir usianya, hingga sudah tak berselera lagi melanjutkan hidup. Terlebih saat semua usaha yang telah dilakukan keluarga dan sahabat-sahabatnya untuk mencari donor jantung yang cocok tak pernah mendapatkan hasil.
Hanya satu yang membuatnya semangat melewati semua kelemahan fisiknya, yaitu keberadaan seseorang yang begitu spesial sejak dulu. Seseorang yang membuatnya berjuang bertahan hidup hanya untuk melihat sosok istimewa itu tersenyum.
Seseorang yang memberikan rasa indah di hatinya. Rasa yang sama sekali tak berani diungkapkan. Mungkin sampai waktunya habis dan dia tak lagi memiliki kesempatan. Virgo sendiri pun tak berani berandai-andai.
“Amoy!” panggil Virgo sembari mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari tubuh Sofie yang entah berada di mana. Dia menerobos kerumunan.
Teriakan, makian dan cacian dibarengi dengan batu-batu yang melayang dari segala arah. Bau mercon dan asap hitam sisa lemparan petasan dan bom molotov berbaur dengan debu jalanan yang menyesakkan pernapasan.
Virgo masih terus mengedar. Sebisa mungkin dia menghindar agar tak terkena lemparan benda-benda berbahaya itu. Nahas, sebuah batu mendarat telak di pelipisnya. Namun, Virgo tidak peduli, yang ada di pikirannya kini hanya Sofie. Dia harus segera menemukan gadis itu sebelum hal yang tak diinginkan terjadi. Terjebak di tengah tawuran ini pasti sangat mengerikan bagi Sofie.
“Amoy!” panggil Virgo lagi—lebih keras—bersaing dengan suara gaduh di sekelilingnya. Akhirnya dia menemukan tubuh Sofie meringkuk takut di samping sebuah mobil Avanza silver yang sepertinya ditinggalkan pemiliknya. “Amoy!” Virgo berlari menghampiri Sofie.
“Vilgo!” Sofie langsung menghambur dan refleks memeluk Virgo dengan tubuh bergetar. Air matanya tak sanggup dia sembunyikan.
Tubuh Virgo menegang. Ini adalah hal yang sangat tidak diinginkannya dalam hidup: melihat Sofie menangis. Tidak sama sekali dan tidak sedikit pun. Hanya sejenak, dia langsung membawa Sofie menjauhi kekacauan itu.
***
Hati Virgo terasa teriris melihat kondisi Sofie. Tubuh Gadis itu masih terus bergetar sambil meringkuk dalam di sofa. Dia sudah aman, berada di ruang tamu rumah Virgo. Tak ada orang lain. Namun, ketakutan itu masih sangat terlihat jelas.
Saat pertama kali bertemu dengan Sofie sepuluh tahun lalu, tiba-tiba saja dia langsung merasa menyayangi gadis itu. Wajah, rambut dan senyum Sofie mengingatkannya pada almarhum adik kecilnya, Namira. Terutama cara bicara yang cadel, persis sekali dengan Namira. Maka saat itu pula, hatinya memutuskan untuk menjaga Sofie seperti dia menjaga adiknya.
“Udah, Moy, nggak apa-apa. Lo udah aman di sini. Ada gue. Gue akan selalu ngelindungin lo. Apa pun yang terjadi,” ujar Virgo lembut sambil membelai kepala Sofie lebih lembut lagi.