Jika Sofie diminta untuk menuliskan urutan nama orang-orang yang paling dia sayang dan paling berharga dalam hidupnya setelah nama orang tua, maka nama yang akan muncul adalah Virgo. Lalu Virgo. Virgo lagi. Kemudian Virgo. Masih Virgo. Virgo. Virgo. Virgo. Sampai urutan ratusan pun hanya akan ada nama Virgo. Ya, Virgo, the one and only!
Sofie bahkan rela melakukan dan mengorbankan apa pun demi Virgo. Meski sejak dulu, pemuda itu tak pernah meminta dan menuntut apa pun darinya yang merugikan atau membahayakan. Hanya satu yang diminta Virgo: menjaga rahasia terbesarnya. Dan Sofie—meski setengah hati—menyanggupi pemintaan tersebut. Karena baginya, Virgo lebih penting dari apa pun.
Virgo selalu bisa diandalkan. Selain orang tuanya, tak pernah ada yang memperlakukannya sebaik dan selembut pemuda itu. Dan selain orang tuanya, tak ada yang lebih disayangi Sofie kecuali Virgo. Tak ada yang mampu menandingi keistimewaan itu. Bahkan tidak juga pemuda yang dua tahun terakhir memberikan perhatian dan segenap perasaan padanya.
“Sampai kapan sih, Go, lo mau kayak gini? Lo nggak capek? Lo nggak sayang sama dili lo sendili?” tanya Sofie getas. Dia kesal sekaligus sedih tiap kali mendengar Virgo mengucapkan kata mati. Sekilas diliriknya plester yang tadi dipasangnya di pelipis kiri Virgo.
Virgo tak menjawab. Pemuda itu masih meneruskan tawanya.
“Gue nggak mau lo kenapa-kenapa, Go. Gue takut … gue nggak mau kehilangan lo.” Suara Sofie bergetar. Rasanya sesak mengucapkan kalimat itu.
Pemuda berkulit putih itu menatap dalam-dalam ke manik mata Sofie yang mulai basah lagi. “Gue nggak akan kenapa-kenapa, Moy. Gue baik-baik aja. Percaya, deh, ” ujarnya lembut.
Mau tak mau Sofie terpaksa menelan bulat-bulat bujukan Virgo, meski dia tahu itu hanya usaha untuk menghentikan pembahasan barusan. Dia benar-benar sangat tidak ingin kehilangan sosok yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman. Tidak peduli walau pemuda itu selalu memanggilnya Amoy—Sofie sangat benci dengan panggilan itu, toh Virgo tak pernah menggubris setiap protes yang dilontarkannya. Dan kekhawatiran itu selalu muncul membayangi hari-harinya.
Terlahir dari keluarga sederhana dengan orang tua berdarah Tionghoa, membuat kehidupan Sofie kecil selalu dikucilkan. Bukan hanya oleh teman-teman dan lingkungan sekitar, tapi juga oleh keluarga besar ayahnya.
Keluarga besar sang ayah menolak keras kemantapan hati laki-laki berkacamata itu untuk mempelajari Islam dan berhijrah keyakinan. Terlebih saat dia memutuskan untuk menikahi seorang gadis—yang juga anak seorang mualaf dari etnis Tionghoa—yang aktif sebagai remaja masjid tempatnya belajar kepada seorang ustaz, penolakan itu makin menjadi. Bahkan dia diusir dan tak lagi diakui sebagai anggota keluarga.
Tidak sedikit pun ayah Sofie mendapat bagian dari harta orang tuanya yang kaya raya. Dari nol, akhirnya keluarga kecil itu memulai hidup sebagai penjual kue. Bunda Sofie sangat pandai membuat kue.