Mei namaku. Nama pemberian Mama yang mencintai kehidupan. Mencintai Tuhan. Nama bulan yang awalnya dikutuk Mama, tetapi akhirnya disyukuri sambil berdoa, bernyanyi dan bercakap-cakap dengan sepi, bunga dan arca. Ketika dinyatakan dokter hamil Mama pun sempat akan bunuh diri. Mama tidak mampu memilih membunuh jabang bayi di perutnya atau terus membesarkannya. Opaku peranakan Jawa Belanda berkulit warna duku Palembang lahir dan besar di desa sekitar Candi Borobudur bersikeras untuk membunuhku saat dalam kandungan. Sedang Omaku peranakan Tionghoa Jawa dari Desa Godean Yogyakarta melawan agar membiarkan diriku lahir sebagai manusia. Opa menyebut diriku dalam kandungan anak haram dan anak Monyet pengaruh setan. Sedang Oma justru sebaliknya mengatakan bahwa diriku dalam kandungan adalah anugerah Kahyangan karena Dewa telah menakdirkan meniupkan nyawa. Dalam situasi jiwa yang goncang rapuh, Mama sering bertanya pada bunga mawar kesayangannya yang sengaja dipelihara di halaman rumah. Tak pernah ada jawaban selain bunga itu menyemburkan bau harum ke jiwanya. Begitu pula dengan Brino anjing putih kecil pesek hidungnya yang biasa tidur di kamar menemani, Mama pun sering mengelus sambil bertanya apakah bayi yang ada di dalam kandungannya harus dibunuh mengikuti kemauan Opa atau harus terus hidup mengikuti kemauan Oma? Brino anjing putih kesayangan itu hanya menjilat airmata Mama. Semua yang hidup dan terlihat mata Mama selalu disapa dan diajaknya bercakap. Kupu-kupu hitam bergaris putih yang sedang bercumbu di bunga kesayangannya tak luput dari sapaan Mama sambil mohon saran memilih kematian atau kehidupan. Kedua ekor kupu-kupu bercumbu itupun hanya menjawab sambil bercumbu terbang menjahuinya. Kalau malam tiba dan langit pagi kemerahan, Mama tak lupa memberi salam kepada Bulan Bintang dan Matahari mengucapkan terima kasih sambil hatinya bertanya tentang gelap kematian dan cahaya kehidupan. Juga kepada Tokek yang ada di dapur dan tidak tahu dari mana datangnya, Mama selalu menghitung suara Tokek sambil mengelus perutnya menghitung hidup atau mati. Kepada alat musik Harpa hadiah dari adik Oma pengusaha rokok, Mama seringkali memainkan tengah malam lagu Serenade de Schubert dan Lelo Ledung sambil mencucurkan airmata. Akhirnya, Mama pada saat puncak ketegangan bertanya kepada Bik Ranem kepercayaan keluarga saudara jauh yang ikut membantu di restoran milik keluarga. Dari ucapan Bik Ranem inilah Mama akhirnya memilih meneruskan kehidupan jabang bayi di dalam perutnya, “Semua adalah takdir Tuhan. Meskipun bapaknya banyak dan tidak tahu siapa namanya tapi tetap manusia bukan binatang. Biarlah bayi itu hidup dan kalau lahir biarlah saya yang memelihara dan membesarkan. Bersyukurlah atas pemberianNya. Yakinlah bahwa bayi yang ada dalam kandunganmu adalah anak Indonesia. Anak bangsa. Dan anak sejarah”.
Seperti tersihir dengan ucapan Bik Ranem, Mama tersenyum mengelus perutnya. Aku dengan cinta kasih dibiarkan hidup dalam kandungannya. Mama memutuskan sekolah tanpa mengikuti ujian Sekolah Menengah Atas dan memilih sebagai calon ibu. Bahkan sampai hari ini usiaku sembilan belas tahun, seperak demi seperak dari warung mie bakso serta bermain harpa ditabung untuk masa depanku agar kelak dapat sekolah setinggi-tingginya. Mama juga memilih hidup di desa Borobudur, candi kebanggaan bangsa Indonesia yang tersohor di dunia, meskipun Opa dan Oma berulangkali memintanya kembali ke Jakarta memegang restoran yang makin membesar. Kalau Opa dan Oma datang mengunjungi Mama di desa, diam-diam di dalam tas sekolahku selalu diisi gebokan uang sepuluh ribuan. Ketika aku ceritakan Mama, senyum manisnya tersungging. “Itu rezekimu. Simpanlah untuk modal sekolah dan masa depanmu. Uang itu keringat Opa Oma bukan uang hasil maling mencuri korupsi atau mengemis. Tirulah Opa Oma yang bekerja keras. Dan Mama ingat pesan Opa, lebih baik mati kalau sudah tidak dapat bekerja, apalagi mengganggu anak cucu. Sedang pesan Oma, bangunlah pagi, jangan mau kalah dengan burung-burung mematuk cacing di tanah ” ujar Mama sambil mencium keningku.
“Biasanya di depan Istana Negara, ibu-ibu berpakaian hitam dan berpayung hitam berdiri di sini!” ujar sopir taxi melambatkan lajunya. Aku tersentak dalam lamunan. Aku mencoba membuka kaca mobil belakang Taxi. Udara cerah tidak ada tanda mendung. Langit putih kebiruan. Aku menoleh ke kanan ke Istana Negara dan berbalik menoleh ke kiri tempat yang ditunjukkan sopir taxi merupakan taman dalam keanggunan Tugu Monas yang dibangun Bung Karno. Aku meminta sopir taxi agar berhenti sebentar di pinggir jalan yang ramai lalu lintas. Dua orang polisi dari kejauhan berdiri di tenda plastik kecilnya. Aku ke luar taxi sedikit berlari. Dengan celana jeans belel dan kaos krah biru serta tas cangklong terbuat dari karung terigu putih buatan sendiri. Dua orang polisi itu kudekati. Lalu aku menyapanya. Bertanya.
“Bapak, selamat sore, biasanya di mana tempat ibu-ibu yang berdiri setiap hari Kamis di depan Istana?”.
Polisi muda yang maju menyongsongku seolah kebingungan menjawab meskipun aku mengerti ekor matanya tajam terkesima menatapku sambil melirik dua gunung didadaku dan membuka tangannya tanda tidak dapat menjawab. Lalu polisi muda di belakangnya yang tetap berdiri di pintu pos tendanya berteriak, “Biasanya di situ !”.