Opa dan Oma sepakat memberi nama Titlis Bunga Manggis kepada Mama. Titlis nama gunung dengan ketinggian tiga ribu lebih dari permukaan laut yang diselimuti salju abadi di Swiss kenangan berbulan madu Opa Oma ke Eropa. Cerita Oma kepada Mama, saat naik cable car Mama seperti mimpi karena baru pertama kali melihat salju putih dan memegang meremas memainkannya saat sampai di Titlis. Sejak itu Oma berkata pada Opa kelak apabila punya anak perempuan akan diberi nama Titlis. Sedang Opa karena merasa menikmati Pizza bakar pasta khas Italia di Titlis, berbisik ingin memberi nama pada anak pertamanya Pizza baik laki-laki atau perempuan. Selain itu pemberian nama Titlis karena Mama lahir putih bagai isi buah manggis. Dan kelahirannya tepat tengah malam Tahun Baru. Mama anak kedua dari dua bersaudara. Kakak Mama yang aku panggil Om Stupa Pizza kulitnya sedikit kuning bercahaya isi warna buah salak Bali yang bentuknya nyempluk mengingatkan akar Opa dari desa Borobudur. Memang ketika Mama lahir tengah malam tepat peralihan malam Tahun Baru dan pergantian hari, Opa ketika menunggu duduk di luar kamar bersalin mendadak seperti disirep setengah tertidur dan mendapat wisik berupa suara yang mengabarkan bahwa anaknya akan menjadi pertanda perubahan zaman.
Rupanya Opa yang berdarah Jawa Belanda itu menerjemahkan wisik itu sebagai murah rezeki karena depot bakmi gorengnya laris sehingga berubah menjadi restoran ternama. Oma berdarah Jawa Tionghoa itu menerjemahkan dengan memberi pelajaran bermain harpa yang didapatnya dari akarnya keturunan marga Lie. Berkat ketekunan Oma bermain harpa itulah Mama menjadi dikenal di sekolahnya ketika memetik harpa sambil bernyanyi lagu Lelo Ledung dalam peringatan Hari Kartini tiga minggu lebih sebelum peristiwa Tragedi Pemerkosaan Etnis Tionghoa 1998.
Aku masih ingat dan selalu kuingat sampai mati, Mama bercerita di suatu petang ketika aku lulus Sekolah Menengah Pertama dan diterima di Sekolah Menengah Atas ternama sambil mengalungkan kalung mutiara simpanannya sebagai hadiah. Setelah mengalungkan Mama tersenyum paling cantik yang pernah kulihat dan perlahan-lahan mengeluarkan airmata. Sambil menangis Mama bercerita tentang sejarah kalung mutiara pemberiannya.
“Sekarang sudah waktunya Mama cerita yang sebenarnya tentang siapa Papamu. Kalung mutiara itu sebagai saksi peristiwa menyakitkan serta memalukan yang menimpa diri Mama. Setiap Mei bertanya dimana dan siapa ayahmu, Mama selalu berbohong bahwa Papamu sedang bekerja di luar negeri dan suatu hari pasti akan kembali. Dan setiap pertanyaanmu itu datang Mama selalu menangis membohongimu. Maafkan kebohongan Mama selama ini karena Mama menganggap belum pantas Mama menceritakan peristiwa aib yang menimpa diri Mama semasa sekolah dan hampir ujian Sekolah Menengah Atas”
Aku memeluk Mama. Airmataku tidak terbendung. Mama berhenti bercerita. Menciumku berulang-ulang sambil menatap wajahku. Kalung mutiara itu dikalungkan ke leherku. Lalu Mama memegang tanganku dan membandingkan dengan tangannya. Sambil tersenyum Mama berkata pelan.
“Warna kulitmu beda dengan kulit Mama. Ini warna kulit Papamu”
Mendengar ucapan Mama, aku mencium tangan Mama sambil memeluk tangan itu erat-erat. Sambil meraung aku membayangkan wajah Papa yang sebentar lagi akan diceritakan Mama. Lalu Mama mengelus rambutku. Perlahan ditegakkan wajahku agar menatapnya dengan menarik lembut rambutku. Aku menatap Mama yang terus mengeluarkan airmata. Mama tersenyum menyambutku.
“Rambutmu yang indah adalah rambut Mama. Kedua matamu besar kayak burung hantu berbeda dengan mata Mama yang sipit mirip gajah. Hidungmu mungkin campuran Mama dan Papa. Tidak terlalu mancung seperti Petruk dalam wayang Jawa dan tidak terlalu pesek kayak Brino anjing kecil kesayangan Mama semasa remaja. Tubuhmu lebih tinggi dari Mama dan kakimu jenjang mirip burung belibis, pasti itu pengaruh Papa. Dan satu lagi yang harus Mama yakini dan juga harus Mei yakini, bahwa namamu yang berbeda dengan bulan kelahiranmu Februari punya arti dalam sejarah bangsamu, Bangsa Indonesia.”
Aku tersentak mendengar kata punya arti sejarah Bangsa Indonesia. Aku menatap kedua mata Mama tajam. Airmataku mirip air terjun Niagara. Seolah Mama mengerti derasnya airmataku, Mama pun mengisak menggelengkan kepala dan menubrukkan kepalanya ke dadaku. Aku menangkap kepala Mama. Semakin tidak mengerti kemana arah cerita Mama. Aku ingin segera Mama membuka rahasia siapa Papaku yang sebenarnya dan di mana. Aku ingin memeluknya. Ingin sekali aku menunjukkan ijazah Sekolah Menengah Pertamaku dengan nilai terbaik di sekolah. Rasanya aku ingin berteriak bangga kepada Papa bahwa sekarang aku sudah besar dan diterima di Sekolah Menengah Atas ternama. Tentu aku juga ingin pamer kepada Papa bahwa produk bikinannya juga sudah banyak peminatnya berjajar motor yang datang apel pada malam Minggu sehingga Mama harus menyiapkan minuman serta camilan. Kadang Mama seperti ibu guru mengabsen bertanya tentang siapa saja yang datang. Lalu memberi saran sedikit mengancam membandingkan sambil berseloroh tertawa kecil.