MEI

Nurinwa Ki. S Hendrowinoto
Chapter #3

CHAPTER III - PRESIDEN BJ HABIBIE MENGUTUK

    Setelah Mama membuka rahasia siapa sebenarnya Papa, awalnya jiwaku sempat goncang. Ada perasaan setiap melihat lelaki berusia paruh baya, pikiranku selalu bertanya, jangan-jangan lelaki itu Papa. Selain itu aku menjadi bersahabat dengan google. Lebih-lebih Oma memberiku hadiah komputer ketika mendengar aku diterima di Sekolah Menengah Atas terbaik. Melalui komputer inilah aku menjadi semakin mengerti bahwa ada peristiwa pemerkosaan bulan Mei 1998 di Jakarta dan salah satu korbannya adalah Mama. Akulah produk peristiwa pemerkosaan itu. Seringkali apabila aku berhias di kaca, aku bertanya apa yang menempel dari Mama dan mencoba mengira wajah Papa seperti menghayati Bhineka Tunggal Ika. Dalam menilai wajah awalnya aku menjerit dan berteriak tanpa sadar. Beberapa kali Mama membuka kamarku dan mencoba menenangkan diriku. Ketika bertatapan Mama memeluk diriku dan aku menangis memberontak. Rasanya cermin kaca di depanku ingin saja aku tanduk dengan kepalaku biar hancur sekalian. Tetapi Mama selalu menghibur sambil guyonan bahwa aku manusia yang dicintainya karena pemberian Tuhan.

       “Mei, kamu lahir atas rahmat Tuhan. Sesungguhnya Mei adalah anak Tuhan juga. Mama dan Papa dalam peristiwa tragedi Mei hanya sebagai jalan hidupmu saja. Ayo kita syukuri dan anggap saja hidup itu lucu seperti komedi. Kita harus gembira menertawakan. Bukankah sambil menangis kita juga dapat tertawa?”

        Pesan Mama selalu aku ingat. Sejak itu aku mulai dapat mensyukuri apa yang terjadi dalam kelahiranku. Lalu mensyukuri apa saja suka duka yang aku terima dalam perjalanan hidup. Dan yang terakhir aku sekarang bangga menjadi diriku sendiri. Menertawakan diri sendiri. Kadang aku merenges sendiri berkaca melihat susunan gigi, jangan-jangan Papa orang Bali atau Batak. Mungkin juga Menado atau Irian. Tetapi hatiku menjawab lebih ke Jawa. Tapi Jawa yang mana? Jawa Sunda, Jawa Yokya, Jawa Madura, atau Jawa Timur? Makin sulit menjawab, aku tersenyum sendiri. Jangan-jangan Papa berdarah Jawa Yokya, kalau begitu aku berdarah Diponegoro. Siapa tahu pula kalau Papa berdarah Jawa Timur, jangan-jangan berdarah Ken Dedes ibu yang melahirkan raja-raja Jawa. Mungkin juga berdarah Sakera cerita rakyat Jawa Madura. Atau mungkin  wajahnya kayak Leak Bali. Sambil mereka-reka Papa, aku tersenyum, lalu tertawa dan terakhir tertawa ngakak terpingkal-pingkal. Suara tertawaku yang keras membuat Mama masuk ke kamar dan ikut tertawa tanpa bertanya. Mama memelukku sambil bertanya mengapa aku terlihat gembira. Aku bercerita mencari Papa dari cermin kaca sambil menebak suku apa yang mengalir dalam diriku. Mendengar itu Mama memelukku bertambah erat. Sambil tertawa Mama mencucurkan air mata dan akupun menangis bahagia.   Pikiranku terus berkembang sampai hari ini dan aku putuskan bahwa Papa adalah Bhineka Tunggal Ika yang salah diterjemahkan. Memang benar berbeda-beda tetapi tetap satu. Hanya dalam menerjemahkan Bhineka Tunggal Ika bukan berarti berbeda-beda lelaki tetapi tetap satu perempuan. Terus terang awalnya aku jengkel bahkan muak apabila ada teman lelaki yang mendekati diriku. Lambat laun, pikiran dan jiwaku berubah. Aku seringkali menertawakan diriku. Bahkan seringkali menggoda Mama apabila ada lelaki setengah baya yang ganteng.

       “Ma, coba lihat lelaki itu. Ganteng. Jangan-jangan itu Papaku”

       Guyonan awal pada Mama ditanggapi dengan cemberut dan kedua matanya berkaca-kaca. Diam seperti petapa. Aku terus mencoba dengan guyonan sambil menghibur Mama karena setelah aku lahir Mama tetap sendiri menjagaku. Aku tidak berani menanyakan mengapa Mama tidak menikah saja. Bagiku itu tidak sopan menyinggung perasaannya. Yang penting Mama setelah menceritakan rahasia Papa makin gembira dalam hidupnya. Aku merasa sebagai sahabatnya. Tetap saja aku menggoda Mama dengan bertanya apabila ada lelaki setengah baya gagah tampan berambut cepak. Wajah Mama terlihat merah padam. Lalu dari mulutnya meluncur getaran suara.

       “Mei, ingat, bayangan lelaki pertama yang memperkosa Mama modelnya seperti itu. Ada tahi lalat di dagunya. Setelah itu Mama tidak tahu wajah lelaki yang lain dan berapa jumlahnya!”

       Dari ucapan Mama itu aku seringkali meraba tubuhku. Kadang apabila gatal sedikit di mataku dan aku menggosoknya, pikiranku melayang pada clorot lebar mata Bunda Teresa dengan menerawang suku di Indonesia mana yang matanya melolong. Ketika mengaca dan mengoles lipstik di bibirku, aku pun berpikir bibirku sedikit melebar mirip Sofia Loren, lalu mereka-reka suku apa di Indonesia yang bibirnya tebal dan lebar. Ketika bersin sambil membuang umbel di hidung pagi hari setelah bangun, aku mencoba berpikir tentang suku Batak atau Nusa Tenggara.  Sambil menebak aku sudah bisa menertawakan diri sendiri sambil bersyukur jangan-jangan Tuhan sengaja melahirkan diriku ke dunia sebagai limited edition. Pikiran ini pernah aku lontarkan kepada Mama sambil guyonan. Mama tersenyum bangga mengangguk dan mulai bisa merenges bangga menjawab sambil melucu.

Lihat selengkapnya