Namanya Mei. Wajahnya khas oriental. Cantik, mata sipit, kulit putih, dan rambut lurus sebahu. Usianya menjelang 17 tahun. Sudah kelas 3 SMA. Tidak lama lagi lulus sekolah, dan katanya akan meneruskan kuliah kedokteran di UI. Katanya ingin jadi dokter. Agar bisa mengobati orang-orang miskin yang sakit dan tidak mampu. Itulah yang pernah diceritakan Mei pada Kosim, tukang becak langganannya. Mei memang anak yang baik dan berhati mulia. Meskipun orangtuanya kaya raya, punya rumah mewah dan tiga mobil, tapi tak menjadikan Mei angkuh dan sombong. Mei sosok pribadi yang rendah hati dan sederhana. Dia juga cerdas. Tak heran jika dia selalu menempati rangking satu setiap kali naik kelas.
Kosim punya tugas mengantar jemput Mei pergi pulang sekolah, les piano hari Senin, les bahasa Inggris hari Rabu, dan kursus balet hari Sabtu. Sebenarnya orangtua Mei lebih suka Mei diantar jemput dengan mobil keluarga, tapi Mei memilih naik becak Kosim dan mereka tak melarang. Mungkin karena sudah terbiasa sejak SD naik becak. Mei juga senang berbaur dengan warga pribumi. Keluarga Mei adalah keturunan Tionghoa. Tapi sesungguhnya mereka sudah jadi warga Indonesia sejak dari kakek buyut. Mereka sudah terputus hubungan dengan leluhur mereka di daratan China sana. Mereka bahkan banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari dari pada bahasa Mandarin.
Orangtua Mei tak melarang putrinya bergaul dengan warga sekitar yang kebanyakan warga pribumi Jawa dan Betawi. Keluarga Mei memiliki toko perhiasan dan toko roti di tengah kota. Usaha dagang yang sudah dijalankan turun temurun dari kakek buyut mereka sebelum Indonesia merdeka. Konon, kakek buyut Mei pernah membantu memasok makanan pada para pejuang saat terjadi perang Kemerdekaan. Jadi tak heran kalau hubungan keluarga Mei dan warga sekitar amat baik. Keluarga Mei dikenal sangat dermawan. Setiap tiba hari-hari besar, entah itu hari raya umat Kristiani, Islam, dan tahun baru Imlek, mereka bagi-bagi sembako atau angpaow pada warga sekitar yang tidak mampu.
Kosim sendiri merasakan langsung kebaikan keluarga Mei. Selain dari upah mengantar jemput Mei yang kadang dilebihkan, juga Kosim kerap dikasih makanan untuk dibawa pulang. Jangan ditanya lagi saat hari-hari besar atau keluarga Mei habis mengadakan acara pesta, Kosim pasti bawa pulang banyak makanan untuk diberikan pada keluarganya. Mereka tahu Kosim seorang muslim, maka hadiah atau makanan yang diberikan pun yang halal. Kosim sangat bersyukur dan berterima kasih pada kebaikan keluarga Mei yang begitu banyak. Sebagai imbal balik, Kosim pun berusaha berbuat baik pada mereka dan tak segan membantu mereka bila ada kerepotan di rumah. Entah itu membersihkan got, memotong rumput, membetulkan pagar, memperbaiki genteng, dan lain sebagainya.
Kosim dan keluarganya tinggal di rumah kecil tak jauh dari rumah keluarga Mei, tepatnya di kampung belakang. Kosim yang sudah berusia empatpuluh dua tahun hanya lulusan SD. Dia pernah jadi kuli bangunan sebelum kemudian jadi penarik becak. Istrinya, Rohayah, wanita biasa yang juga hanya lulusan SD. Sehari-hari menjadi buruh cuci dan setrika untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka memiliki tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dodik, anak pertama sudah berusia 19 tahun. Setelah lulus SMP tak bisa meneruskan sekolah karena tak ada biaya. Sampai sekarang jadi pengangguran dan tiap hari kerjanya nongkrong bersama teman-temannya di lapak.
Anak kedua perempuan, namanya Uswatun panggilannya Atun, usia 16 tahun masih kelas 3 SMP. Atun ingin meneruskan SMA setelah lulus, tapi Kosim tak memiliki cukup uang untuk bayar uang masuk dan SPP. Anak ketiga laki-laki usia 12 tahun masih kelas 6 SD, namanya Roni. Sebentar lagi juga masuk SMP. Jadi Kosim lebih memprioritaskan untuk membiayai sekolah anak bungsunya ini. Tapi Roni anaknya bandel, suka berantem di sekolah, suka mencuri, dan bergaul dengan anak-anak jalanan. Kosim sering dibikin pusing oleh ulah anak bugsunya ini. Pernah Kosim hendak menghukumnya mengurung di kamar mandi, tapi istrinya melarang. Rohayah sangat menyayangi putra bungsunya. Rohayah terlalu memanjakan Roni.
Kosim meminta kedua anaknya yang lain untuk mengawasi dan membimbing adiknya. Tapi Dodik yang egois tak mau peduli. Dia malah menyalahkan kedua orangtuanya yang dianggap salah didik dan terlalu memanjakan Roni. Sementara Atun kewalahan dan tak sanggup mengatasi kenakalan adiknya. Pernah dia menasehati Roni agar tidak mencuri, tapi akibatnya keningnya bocor ditimpuk batu oleh adiknya itu. Kosim jadi kasihan pada putrinya. Dia satu-satunya anak yang kelakuannya paling baik, Kosim pun tidak sampai hati memupus harapannya yang ingin meneruskan sekolah. Tapi Rohayah tidak setuju.
“Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti bakalan cuma dikawin orang dan jadi ibu rumah tangga!” katanya.
Kosim pun berusaha menghibur putrinya. “Kamu jangan berkecil hati ya, Nak. Sementara kamu prei dulu dari sekolah. Ntar kalau bapak udah ada uang banyak, bapak sekolahin kamu ke SMA.”
Kalimat penghibur yang sangat klise. Kenyataan Kosim tak pernah punya banyak uang. Boro-boro buat menabung, penghasilannya dari narik becak hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Sementara penghasilan Rohayah pun habis untuk memanjakan anak bontot kesayangannya. Atun sering terabaikan. Untuk bayar sekolah sering nunggak, apalagi buat beli buku-buku dan keperluan sekolah lainnya. Untunglah Mei perhatian pada Atun. Dia sering melungsurkan buku-bukunya dan seragam sekolahnya yang tak terpakai untuk Atun. Kebetulan Mei bersekolah di sekolah negeri sama seperti Atun. Bukan hanya buku dan seragam, tapi sepatu, baju harian, dan barang lainnya milik Mei yang masih bagus dan tak terpakai diberikan pada Atun.
“Kak Mei orangnya baik ya, Pak,” kata Atun memuji Mei.
“Ya,” sahut Kosim pendek.
“Beruntung sekali Kak Mei lahir di tengah keluarga berada. Semua keinginannya bisa terpenuhi.”
“Bapak lebih beruntung punya anak seperti kamu.”
“Tapi aku enggak secantik dan sepintar Kak Mei.”
“Kamu memiliki hati yang baik.”
“Ah, bapak. Selalu gitu deh.”
“Buat bapak, baik itu lebih bernilai dari sekedar cantik dan pintar. Karena orang baik akan diterima di manapun. Jadi bapak minta, kamu tetaplah jadi orang baik, dalam situasi apa pun dan keadaan apa pun.”
Atun mengangguk. Kosim membelai kepala putrinya penuh rasa sayang. Saat itu mereka duduk di bale bambu yang ada di teras depan. Sementara malam baru saja beranjak ke peraduan. Tapi suara bising kota masih terdengar di kejauhan.
***
Siang itu Kosim mengayuh becaknya mengantar Mei pulang sekolah. Situasi di jalan terlihat ramai orang-orang berjalan kaki memenuhi jalanan. Mereka bergerak menuju ke satu arah. Mei jadi was-was.
“Mereka siapa, Pak Kosim? Pada mau ke mana?” tanyanya pada Kosim.
“Mungkin pada mau demonstrasi, Non,” jawab Kosim asal.
“Demonstrasi apa?”
“Demonstrasi krismon kali.”
Akhir-akhir ini memang ramai pembicaraan tentang krisis moneter atau disingkat krismon di tengah masyarakat. Di televisi dan surat kabar tiap hari muncul berita tentang krisis moneter yang melanda dunia. Kosim tidak mengerti apa itu krisis moneter. Yang dia tahu, orang-orang di kampungnya ramai membicarakan tentang harga-harga kebutuhan pokok yang langka dan mahal, banyak pabrik dan kantor gulung tikar, bank-bank bangkrut, Indonesia katanya tidak bisa bayar hutang, semua itu akibat krismon. Terhembus kabar Indonesia bakal mengalami kehancuran jika tidak mampu mengatasi krismon. Kehidupan masyarakat bakal makin sulit. Buat Kosim setiap hari adalah kesulitan, jadi dia bersikap biasa saja menghadapi kabar itu. Lagipula kesulitan seperti apalagi yang bakal dihadapi?
Tiba-tiba becak yang membawa Mei macet terhalang oleh kerumunan orang. Mereka riuh meneriakkan yel-yel; turunkan harga, kami menuntut perubahan, IMF pembohong, dan teriakan lain yang tak jelas. Diantara para pendemo ada yang menengok ke dalam becak dan berteriak bernada cemoohan.
“Cina! Hoi, ada anak Cina disini!”
Teman-temannya langsung menengok dan ikut mencemooh.