Mei

Eko Hartono
Chapter #2

Bab 2: Menganggur

Sejak itu Kosim tak pernah mengantarjemput Mei lagi. Rupanya kejadian pulang sekolah siang itu membuat Mei trauma. Orang tuanya memutuskan Mei diantar jemput Pak Joned dengan mobil ke sekolah atau ke mana pun. Mereka tak ingin mengambil resiko. Situasi saat ini sedang gawat. Setiap hari ada saja aksi demonstrasi oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat tertentu di jalan. Para polisi berjaga-jaga di setiap sudut jalan. Mereka dibantu kesatuan tentara karena gelombang demonstrasi yang terus meningkat. Pemerintahan Soeharto yang belum lama terpilih kembali oleh sidang umum MPR memimpin negara ini tak mampu membendung aksi demonstrasi mahasiswa.

Di beberapa kota terjadi aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri ini, Kosim tak tahu pasti. Yang Kosim tahu hanyalah; dia sudah kehilangan pelanggan tetap yang mengurangi pendapatannya, susah cari penumpang karena orang-orang pada takut keluar rumah, harga kebutuhan pokok makin mahal karena kelangkaan barang, dan istri yang mengeluh hutangnya di warung makin menumpuk. Sementara anak-anaknya merengek minta uang jajan.

Rohayah pun meminta suaminya cari kerja lain, dari pada narik becak sepi.

“Coba cari kerja lain aja, Pak,” katanya.

“Kerja apa, Roh? Di mana-mana kerjaan juga pada sepi,” jawab Kosim lirih.

“Ya, kerja apa kek. Nguli bangunan, nguli pasar, atau apa ajalah yang penting dapat duit. Atau minta kerjaan sama Pak Wijaya?”

“Toko punya Pak Wijaya sepi dan sepertinya tidak membutuhkan karyawan lagi. Pasar-pasar juga sepi. Proyek bangunan pada gak jalan. Ini gara-gara sering ada demonstrasi.”

“Jangan salahkan keadaan, Pak.”

“Tapi kenyataannya begitu. Orang jadi susah nyari kerja.”

“Terus gimana bayar hutang di warung, Pak? Bayar sekolah anak-anak juga?”

“Kita jual apa aja dulu yang ada.”

“Udah enggak ada, Pak. Tinggal becak sampeyan.”

Kosim menarik napas dalam dan menghembuskan napas berat. Dia pun bingung dan pusing. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Belakangan ini kondisi dan situasi di seluruh negeri sedang tidak baik-baik saja. Di mana-mana terjadi demonstrasi di jalan. Beberapa mahasiswa dan para aktifis yang menyuarakan perlawanan pada pemerintah ditangkap aparat keamanan. Orang ramai membicarakan tentang perubahan dan reformasi. Orang-orang sibuk membahas soal kelangkaan barang, bank-bank terancam bangkrut, ekonomi nasional memburuk, pengangguran meningkat, dan kondisi politik yang tidak menentu. Bahkan Dodik yang biasanya tidak pernah ngomong soal politik dan ekonomi mendadak berubah seperti pakar.

“Indonesia bakal hancur, kalau tidak dilakukan reformasi. Presiden Soeharto harus mundur. Dia dan kroninya sibuk korupsi!” ujarnya lantang.

“Huss, jangan sembarangan bicara! Nanti bisa didor kamu,” tukas Rohayah cemas.

“Kamu mendingan nyari kerja, Dod,” kata Kosim.

“Nyari kerja sulit, Pak. Bapak sendiri juga, kan?”

“Tapi kamu masih muda, mungkin lebih mudah kamu dapat pekerjaan. Siapa yang bantu ibu kamu beli beras?”

“Gampanglah nanti. Ada orang yang ngajak demonstrasi besok siang. Katanya per orang bakal dikasih duapuluh ribu,” jawab Dodik.

“Kamu jangan ikut-ikutan, bahaya!” Rohayah memperingatkan.

“Tenang, Bu. Enggak bahaya. Orang kita ramai-ramai. Bapak ikut ya? Lumayan dari pada enggak ada kerjaan.”

Kosim menggeleng. “Bapak mau nemuin Pak Wijaya. Siapa tahu ada kerjaan di rumahnya,” ucapnya.

Lihat selengkapnya