Sudah beberapa kali Juni berjalan mondar-mandir. Gadis yang ia tunggu sedari tadi belum juga tersadar. Ini semua salahnya, tanpa berpikir panjang ia memukul tembok rumah sakit cukup keras. Hal itu membuat Naya, Ibunya Mei terpelonjak kaget.
Naya menghampiri remaja itu dengan perasaan kalut. Saat di perjalanan tadi, Juni menjelaskan kronologi kejadian sebelum Mei pingsan. Ia mengenal persis karakter Mei dan Juni. Tanpa diceritakan pun Naya tahu, jika Juni menyukai anak semata wayangnya itu.
"Sini duduk sama Bunda!" ajak Naya sambil menarik lengan Juni lembut. Terlihat dari sikap Naya kepada Juni, keduanya begitu akrab. Layaknya sikap seorang Ibu kepada anaknya. Hal tersebut memang wajar, karena sejak kecil Juni sudah dekat dengan keluarga Mei.
"Bunda, maafin Juni! Juni merasa gagal jagain Mei." Bukannya marah, justru Naya terulur mengusap puncak kepala Juni. Naya begitu menyayangi anak temannya itu. Meski hubungannya dengan Nurma sedang tidak baik-baik saja, tapi ia tidak boleh menjadikan Juni sebagai pelampiasan kemarahannya.
"Kamu tidak salah, Juni. Wajar saja dong kamu mengungkapkan perasaan kamu. Oh iya nanti kalo Mei sudah sadar, kamu belikan makanan di kantin rumah sakit ya! Bunda harus pergi, tadi Om Fandi meminta bunda untuk pulang," ucap Naya dengan senyum yang terlihat nyata di bibirnya. Juni hanya bisa tersenyum hambar. Ia tidak bisa mencegah wanita yang dipanggilnya bunda tersebut.
Melihat respon baik dari Juni, akhirnya wanita itu menghampiri anaknya dan mencium kening gadis itu penuh sayang. "Bunda, pulang dulu ya nak! Papa membutuhkan bunda sekarang. Nanti sore bunda kesini lagi, oke. Cepat pulih sayang!" ujar Naya.
Setelah kepergian Naya, lelaki itu menghampiri Mei yang masih tidak sadarkan diri. Ia menatap gadis itu iba. Kini ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia meraih jari tangan Mei dan menggenggamnya.
"Cepat bangun ya, Mei!" ucapnya. Ia melihat wajah Mei sebentar sebelum meletakkan kepalanya di ranjang tempat Mei tidur. Mendadak kepalanya terasa berat, seakan apa yang dirasakan Mei menyalur pada dirinya.
"Selamat siang!" seru seorang dokter yang membuat Juni terbangun. Ia segera beranjak dari tempatnya dan mempersilahkan dokter itu untuk memeriksa keadaan Mei.
"Gimana dok?" tanya Juni dengan alis berkerut. Pasalnya, dokter itu merasa ada yang mengganjal setelah selesai memeriksa Mei.
"Kamu tidak perlu khawatir! Pasien hanya sedikit kelelahan. Nanti setelah sadar bisa langsung pulang. Asalkan dia tidak banyak pikiran dan tetap menjaga pola makannya, dia akan baik-baik saja. Baiklah saya harus memeriksa pasien yang lain. Saya permisi!" ungkap dokter dengan nametag Dr. Renjani.
"Terima kasih dokter," ujar Juni tersenyum hangat. Dokter itu balik membalas senyum kepada Juni sebelum beranjak dari ruangan tersebut.
Setelah kepergian dokter Renjani, Juni kembali duduk di samping ranjang Mei. Ia mengamit telapak tangan kanan Mei dengan tangannya.
"Bangun ya, Mei. Aku janji akan nerima apa pun keputusan kamu nanti. Aku tahu, kamu pasti akan marah saat lihat aku. Tapi, tenang aja Mei! Aku udah siap buat kamu marahi seperti biasanya. Dan__." Belum sempat Juni melanjutkan pembicaraannya ia terkejut dengan suara Mei yang sedang merancau.
"PERGIII!" teriak Mei dengan napas tak tentu. Juni langsung berdiri, ia menatap Mei khawatir.
"Mei," panggil Juni lirih. Gadis yang merasa namanya sedang dipanggil pun menoleh. Kedua alisnya bertaut. "Kenapa Juni di situ? Bunda mana?" tanya Mei.
Dalam hati Juni merasa lega, ternyata yang terjadi di luar dugaannya. Gadis itu sama sekali tidak marah padanya. Bahkan seperti tidak pernah terjadi apa apa. Tidak mau mengulur waktu lagi, Juni menghampiri Mei dengan wajah sendu.
"Mama mana, Juni?" tanya Mei sekali lagi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Om Fandi?" tebaknya. Ia sangat yakin bundanya itu tidak segan meninggalkannya demi lelaki brengsek itu. Apa di dunia ini tidak ada yang benar benar baik padanya? Kenapa orang orang yang mendekati keluarganya hanya karena uang?
"Kamu yang sabar ya, Mei! Oh iya, ada kabar baik buat kamu. Tadi dokter yang periksa kamu bilang, sekarang kamu boleh pulang," tutur Juni dengan bibir mengembang.