Aku duduk termenung memandang bangunan kecil warna putih di depanku. Banyak yang lalu lalang di depan ku untuk membaca setiap buku yang kusediakan di dalamnya. Tentu saja, buku itu karyaku sendiri. Bangunan yang bertuliskan RUMAH SINGGAH MEI di depannya ini adalah pertolongan untuk para korban ketidakadilan, para perempuan yang tidak mendapat tempat untuk pulang ternyaman,dan untuk menebar kasih untuk mereka, juga sebagai tempat membaca.
Hari ini, dua puluh delapan Mei tepat tahun ke dua puluh lima Mei Yin sahabatku meninggal dunia. Dukanya masih sama seperti dua puluh lima tahun yang lalu. Yang paling membekas adalah kenapa waktu itu Mei harus meninggal dengan cara teragis, dan sayangnya lagi, aku tidak sempat menolongnya.
Setiap tahun, untuk mengenang dia aku memasang gambarnya di depan rumah singgah di depanku. Akan banyak manusia yang datang melihat. Mereka membaca setiap karyaku yang sudah dalam bentuk buku. Bahkan kisah Mei kutuliskan dalam tulisan untuk menceritakan pada dunia bahwa aku tidak pernah melupakannya. Di bangunan kecil itu juga aku menerima pasien untuk konsultasi tentang yang yang mengganggunya,Membantu mereka yang trauma, terutama pada perempuan.
"Bunda, hayoo. Nggak baik loh melamun seperti itu," aku kaget mendengar suara cempreng itu. Kanzia, putriku yang teramat ceria. Sikapnya selalu memunculkan kenangan pada Mei. Ceria, cerewet, dan tawanya,sama persis.
"Kebiasaan deh." Keluhku padanya. Seharusnya aku tidak kaget saat dia datang karena kelakuannya itu sudah kuhapal jelas ketika datang dari sekolah. Tapi, dijuluki dia sebagai ahli.
"Sebenarnya siapa sih Mei itu? Setiap sekali setahun, saat bulan mei Bunda selalu pasang gambar dan namanya di sini. Ini juga, kenapa sih bangunan ini diperuntukkan untuk Mei?" Sengaja kutulis kisah Mei dalam buku agar semua orang bisa tahu kisah itu tanpa kuceritakan, tapi orang yang tinggalnya dekat sekali dengan buku itu malah tidak tahu sama sekali.
"Makanya baca buku. Tertutup kan jendela dunianya." Aku mengomel. Jariku sudah sakit untuk mengetik setiap kata dalam buku itu, memikirkan susunan katanya juga adalah pekerjaan. Lalu dia datang dengan santainya menyampaikan bahwa dia ingin mendengar langsung dari bibirku. Bilang saja kalau malas membaca buku.
"Sumpah, males banget baca buku." Katanya dengan wajah memelas. Aku dan Kanzia anakku sangat bertolak belakang, dia hobinya olahraga dan menari, tapi sangat tidak suka baca buku. Menari dengan musik keras adalah hal yang membuatnya bahagia.
"Apasih yang spesial dari menulis itu? Capek mikirin alurnya." Dia mengeluh.
"Olahraga lebih capek tau, menguras energi banget lagi. Gerak sana, gerak sini," aku menyangkal. Kalau hobiku disinggung, itu hal yang paling tidak kusukai.
"Tapi bikin sehat," dia tidak mau kalah.
"Ngefungsiin otak dan tidak membuatnya menganggur lebih mencerdaskan otak."