Entah Minggu yang singkat atau aku yang tidak ingin beranjak dari hari libur. Rasanya baru kemarin aku berbaring seharian di kamar, dengan setumpukan buku yang kubaca untuk menghiburku.
Sekarang aku berdiri di lapangan untuk melakukan rutinitas Senin, upacara bendera. Mungkin, hal ini adalah sesuatu yang banyak siswa tidak sukai. Berdiri dan membakar kulit bersama-sama. Rasa-rasanya aku ingin lari jika saja guru tidak akan menghukum ku nantinya. Ah, jika itu pilihan, bukan aku saja yang akan memilihnya.
Aku berdiri membelakangi matahari terbit, sedangkan di depan ada barisan yang isinya para siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Mei berdiri lagi di sana. Kebiasaan yang membuatku bosan melihatnya. Dia selalu saja terlambat kalau hari Senin.
Setelah upacara selesai, para siswa yang memang niat awalnya sekolah untuk belajar dibubarkan. Tinggallah mereka yang niatnya setengah untuk melakukan tugas selanjutnya, melaksanakan hukuman.
Seharusnya Senin kujadikan awal hari yang bahagia, tapi itu semua akan menjadi angan semata. Saat masuk ke kelas, bukannya duduk aku malah disuguhkan dengan suasana ricuh, tapi ini sudah biasa terjadi. Siswa yang mempunyai tugas piket hari Senin akan adu mulut dan saling menyalahkan karena semua terlambat hadir. Ujungnya, ruang kelas akan bersih saat guru yang masuk hari itu marah karena kelakuan mereka.
"Tinggal nyapu doang susah sekali," aku masuk menerobos saat mereka masih melaksanakan perang mulut. Sapu di pegang, tapi niat untuk menyapunya tidak ada.
"Makanya, kalau bikin jadwal kebersihan yang adil dong, sekelompok dengan orang malas tuh rasanya menderita banget." Kata satu orang yang sedang memegang sapu dengan sinis pada orang di depannya. Dia menyindirku karena baginya aku tidak adil membagi tugas. Padahal, yang salah adalah mereka. Jika kewajibannya hari Senin, seharusnya mereka datang lebih awal.
"Mengomelnya setelah kelas bersih saja," aku tidak mau kalah. Dia selalu saja protes tentang banyak hal. Dikira saja jadi ketua kelas itu mudah. Aku menjabat sebagai ketua kelas di sini. XI IPA 2.
Setelah mendapatkan Omelan, mereka baru bergerak. Karena kelas belum bersih, kuputuskan untuk menaruh tas ku di laci meja yang menjadi tempatku duduk bersama Mei. Kemudian aku beranjak pada meja guru sambil menunggu kelas bersih terlebih dahulu.
Kelas kami mendapat julukan kelas pinggiran, kumpulan para siswa yang gagal masuk ke kelas unggulan, IPA 1. Sering menjadi bahan pembicaraan di ruang guru, dan pastinya siswanya menonjol karena kenakalannya. Tapi, tidak semuanya. Ada juga siswa yang punya niat belajar di sini.
Setelah kelas bersih, aku kembali ke tempat duduk dan menunggu Mei. Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, tapi sosoknya belum terlihat olehku. Kuambil buku catatan di dalam tasku, dan sebuah novel untuk kubaca sambil menunggu guru yang akan masuk pertama.