Terlahir menjadi seorang anak Perwira membuatku terbiasa hidup dengan suasana hening. Pemandangan yang selalu sama; rumah-rumah dengan cat hijau, pepohonan yang asri, dan jalanan yang luas.
Temanku tidak banyak, selain Mei aku hanya berteman dekat dengan anak teman Ayah lainnya. Menggunakan halaman yang luas di depan rumah untuk bermain bersama mereka. Kesepian memang, karena ibuku juga mengabdikan dirinya di Rumah Sakit sejak sebelum aku terlahir.
"Aku berangkat dulu, bi." Aku mengayuh sepedaku ke luar dari halaman rumah untuk berangkat ke sekolah. Hanya berpamitan pada Bi Ina yang terlambat datang. Dia bekerja di rumahku, tapi sampai sore saja setelah dia memasak makan malam. Dan akan kembali saat pagi.
Rok sampai lutut yang kugunakan semakin mempermudah aku mengayuh sepeda untuk sampai ke sekolah. Rambutku panjang, tapi tidak pernah ke luar rumah dengan rambut terurai. Soal sepeda, aku lebih memilih ke sekolah menggunakan kendaraan ini. Meski berakhir dengan keringat, aku juga sudah mengatakan bahwa jika sesuatu bisa kulakukan sendiri, maka aku tidak akan minta bantuan siapa pun.
"Mbaknya tidak bisa lewat. Jalannya sedang ada demo." Aku berhenti mendadak karena seorang petugas berjaga dan memasang palang penutup untuk menahan orang lain lewat.
"Sekarang apa yang bisa kulakukan? berbalik arah dan memilih jalan lain akan memakan waktu lama lagi. Aku bisa terlambat,"
"Mba, jangan masuk." Petugas itu berteriak dan memaksaku ke luar kembali. Aku melewati di bawah palang yang dipasang dan menerobos untuk sampai cepat ke sekolah. Berharap masih ada celah diantara kerumunan manusia untuk bisa cepat sampai ke sekolah.
Ini seperti saja mempersulit diri sendiri. Hukum alam memang nyata adanya. Sekarang apa yang harus kuperbuat? Aku berdiri di kerumunan manusia yang emosinya sedang meluap. Entah apa yang mereka lakukan, ada yang membawa toa menyuarakan apa yang menjadi tujuan mereka berdiri di sini.
Kurasa mereka bukan satu kalangan saja. Berbagai almamater digunakan untuk mengetahui dari mana saja mereka.
"Kita tidak butuh pemimpin seperti dia," aku mendengar suara dari salah satu laki-laki yang berdiri tegak di sana. Setelah dia menyuarakan itu, yang lainnya ikut berteriak bersama.
Tidak lama kemudian, mereka beraksi, bermain fisik dengan melemparkan batu pada bangunan di depan sebagai tempat tinggal pemimpin yang dimaksud. Aku lupa, ini adalah tempat tinggal Prsiden.
Berbagai teriakan yang awalnya tenang kini terdengar emosi. Mereka beraksi. Tidak perduli dengan anggota kepolisian yang ada di sekitar mereka. Mereka melawan dan tidak mau diberhentikan.
Kacau, sekarang jalan benar-benar sudah tertutup. Aku berlari mencari celah dimana aku bisa ke luar dari sini.
" Permisi.....permisi," aku berteriak sambil mencelah badan-badan tegak yang menghalangi jalanku. Mereka sama sekali tidak perduli dengan aku yang sudah hampir mati karena ketakutan ini. Sepedaku sudah jauh kulemplar entah kemana. Mereka terlalu serius dengan apa yang mereka lakukan sehingga tidak sadar akan hadirku.
Ditengah kerusuhan, aku mendapati seorang anak menangis. Siapa yang berani meninggalkan anaknya di sini, mereka sama saja mendekatkan anaknya pada kematian.
"Sini sama kakak,dek," aku menggendong anak yang hanya bisa menangis itu. Kuambil dari kereta dorong yang entah dimana orang tuanya. Dia menangis bukan karena ketakutan, mungkin karena orang yang membawanya ke tempat ini tidak hadir dengan cepat.