Seminggu mendekam di rumah seperti tahanan membuatku sangat merasa bosan. Mungkin ke luar rumah tidak akan membahayakan diriku, tapi luka di dahiku belum kering. Tentu Ayah tidak akan mengijinkan ke luar.
Hari yang terasa sangat panjang. Hanya ditemani oleh acara televisi yang seminggu juga sangat membosankan. Semua hanya berisi tentang berita kerusuhan Jakarta.
"Non, Tuan menelpon. Katanya jangan ke luar rumah," aku menghela napas, kalimat itu sudah terdengar membosankan olehku. Selama aku mengalami insiden seminggu yang lalu, kakiku bahkan belum pernah melewati pintu depan rumah.
Ayah dan ibu melarang ku ke luar rumah karena takut aku kenapa-kenapa. Aku juga tidak tahu bagaimana kabar Mei sekarang. Menyebalkan, kenapa semuanya sangat rumit sekali.
Baru kali ini rasanya aku ingin bersekolah saat hari Senin. Meski berdiri di lapangan dengan terik matahari sangat membuatku menderita, maka berdiam diri di rumah tanpa apa pun lebih membuatku menderita. Aku harap Senin besok membawa kabar gembira dan kami bisa kembali ke sekolah.
"Non, ada telpon untuk non." Bi Ina berteriak setelah telpon yang terdengar olehku diangkat olehnya.
"Bilang aja sama Ayah kalau aku tidak akan ke luar rumah." Suaraku lebih keras dari suara Bi Ina. Aku tahu larangan Ayah adalah kewajiban yang harus kupatuhi. Aku juga tahu melanggar perintah Ayah sama saja mengundang amarahnya.
"Bukan dari tuan,non. Katanya ini dari sekolah." Aku berdiri dengan sigap. Telpon genggam yang Bi Ina pegang seketika berada di tanganku.
Betapa sangat bahagia rasanya saat keinginan terwujud. Wali kelasku menelpon dan mengatakan bahwa besok sudah mulai sekolah. Pertama yang dia telpon adalah telepon rumahku karena katanya aku ketua kelasnya.
Sebenarnya aku tidak perduli dengan urutan murid yang akan ditelpon duluan. Info ini adalah info yang paling aku tunggu. Aku bergegas ke kamar dan menyiapkan segalanya. Kukatakan bahwa aku sangat-sangat bahagia.
Langkahku berhenti di anak tangga kedua saat hendak menuju kamar. Memikirkan respon apa yang akan Ayah dan Ibu berikan ketika mendengar berita ini. Aku masih menebak bagaimana kalimat mereka melarang ku untuk kes sekolah nantinya.
Dari cara Ayah melarangku ke luar rumah sudah sangat mewakili bahwa besok aku tidak akan mendapatkan ijin untuk berangkat sekolah. Biar kupikirkan solusinya nanti saja, sekarang aku harus bergegas menyiapkan semuanya.
"Ish.. masih sakit. Alasan apalagi yang bisa kugunakan untuk membujuk Ayah dan Ibu jika dahiku masih terpasang perban," aku berdiri di depan cermin panjang yang ada di dalam kamarku. Melihat perban yang masih harus terpasang di dahiku membuatku sedikit putus asa. Aku ingin melepasnya, tapi ini adalah risiko besar.