MEI KE 25

Marliana
Chapter #5

Pasar

Raut wajah Mei yang kulihat di sekolah menggambarkan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Masalah apa yang sebenarnya membendung dan membuatnya seperti itu. Aku yakin apa pun masalahnya, pasti itu sangat berat.

Saat di sekolah, sepatah kata pun tidak ada yang ke luar dari mulutnya selain bentakan yang kuterima saat pagi. Meski menjadi teguran guru yang mengajar di kelas kami karena dia tidak memperhatikan dan selalu melipat tangannya dengan menenggelamkan kepalanya di meja. Dia sama sekali tidak menggubris. Saat waktu pulang tiba, dia pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku ingin sekedar disapa.

"Mei kenapa?" Kalimat tanya itu berhasil memenuhi pikiranku. Perubahan sikap Mei sangat membekas dan sangat kontras sekali terlihat. Dia yang selalu ceria dan banyak bicara hari ini membisu dengan kesedihan.

Ternyata perubahan sikap Mei banyak mengundang tanya bukan hanya padaku saja. Sepanjang perjalanan ke luar halaman sekolah, aku banyak ditanyai tentang 'Mei kenapa?' Sampai lapisan terluar sekolah juga menanyakan Mei padaku. Tukang bubur di depan sekolah yang biasa menjadi tempat kami sarapan. Tidak ada jawaban yang kuberikan selain gelengan, sebab aku pun mencari alasan mengapa Mei seperti itu.

***

"Banyak yang menjadi korban kerusuhan ini. Banyak yang meninggal, terluka, bahkan yang paling parah adalah seminggu terakhir aku mendapatkan pasien yang mengalami gangguan mental." Aku membelalakkan mataku, ternyata separah itu dampak yang diakibatkan dari kerusuhan. Hari ini Ayah dan Ibu datang tepat waktu. Setelah makan malam disajikan, mereka muncul di pintu dan langsung ikut makan bersamaku yang lebih dulu duduk. Dan Ibu mengatakan itu setelah memasukkan suapan pertama di mulutnya

Aku kembali membayangkan nasibku ketika terjebak diantara kerusuhan itu. Bagaimana jika tempo hari Ayah terlambat datang dan nasibku bisa saja berakhir berpisah alam dengannya.

Napasku terengah ketika mencoba menerka hal negatif yang akan menimpaku waktu itu. Menyusun alur cerita yang membuatku mati rasa.

"Bahkan sampai hari ini, mereka masih menuntut keadilan. Mereka semakin rusuh karena oknum dari terjadinya kasus gangguan mental itu tidak tertangkap. Kita juga tidak tahu siapa pelakunya." Pernyataan Ayah masih menggantung menyimpan tanya.

"Alasan banyak yang mengalami gangguan mental apa?" Tanyaku penasaran.

"Karena suara mereka tidak terdengar. Aksi mereka tidak tuntas untuk menurunkan Presiden kita. Entahlah alasan itu akurat atau tidak, kami juga masih mencari tahu."

"Separah itu?" Aku bertanya lagi.

"Bahkan, kebanyakan dari mereka yang mendapatkan pelecehan adalah warga Tionghoa," aku semakin membuka mata dan mulutku melebar. Pikiranku langsung tertuju pada Mei.

"Nah, pasienku juga banyak dari bagian mereka," imbuh Ibuku.

Lihat selengkapnya