Aku berhenti mengayuh sepedaku di depan rumah dengan nuansa China di depanku. Tentu saja warna merah menyala pada chat yang digunakan dari lantai satu dan dua. Pagarnya tertutup, tapi kulihat pintu rumah terbuka dengan lebar.
Setelah mendapat izin dari Ayah untuk ke mari, aku tidak pulang ke rumah saat selesai sekolah. Kerusuhan masih belum berhenti sepenuhnya, masih ada yang berdiri di depan istana Presiden dan dengan masih tekad kuat dengan niat sebelumnya. Menurunkan Presiden dari jabatannya. Itulah alasan Ayah melarang keras aku ke luar rumah.
Aku mendorong pagar besi yang lumayan berat itu,lalu masuk ke dalam sambil mendorong sepedaku.
Sepedaku diparkir di garasi rumah Mei. Saat di halaman rumah Mei, aku melihat bayangannya duduk di kursi melalui pintu yang tidak tertutup. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi aku mengenali rambut sebahu khas Mei.
Kakinya diangkat ke sofa tempatnya duduk. Tangannya menutupi wajahnya. Setelah memarkirkan sepedaku, aku masuk dan ingin menemuinya.
"Mei tunggu!" aku mengejar Mei yang lari ke atas. Dia tidak menghiraukan panggilanku. Aku menghapal setiap titik rumah ini. Kamar Mei, dapurnya, bahkan tempat mereka beribadah di rumah juga kuketahui tempatnya.
Biasanya jika pulang dari sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku ke sini, ke rumah Mei dan melakukan banyak hal dengannya juga keluarganya.
Kehadiranku disadarinya. Saat hendak masuk ke kamarnya, kulihat pintu kamar terbanting keras tepat di hadapanku, dia melarangku masuk ke kamarnya.
"Mei tolong buka. Aku mau bicara sama kamu," kuketuk pintu kamar itu dengan sedikit keras berharap dia membukanya dan membiarkanku masuk.
Tidak ada harapan, suaraku terdengar serak karena lama berteriak di depan pintu kamarnya Mei. Juga tidak ada pilihan lain selain menunggunya ke luar kamar. Jika aku memutuskan untuk pulang, tidak ada jaminan besok Mei akan kutemukan lagi di rumahnya.
Saat aku duduk di depan kamarnya Mei, isakannya terdengar olehku. "Mei menangis?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Mei yang selalu terlihat kuat, bahkan sudah lama berteman dengannya sekalipun tidak pernah kulihat dia menangis. "Dia benar-benar rapuh sekarang."
Sambil menunggu pintu terbuka, aku mengeluarkan buku diary yang selalu kuisi dengan bait puisi. Kecintaanku terhadap menulis sudah sangat besar dalam diri. Aku mencintai setiap diksi yang kutulis di buku itu.
"Ra..." Kudengar namaku terpanggil seseorang saat Tenga serius menulis. Dari suaranya terdengar bahwa dia kaget karena melihatku masih duduk di depan kamarnya. Kulihat pintunya juga sudah terbuka.
Aku dengan cepat berdiri. Memegang kenop pintu yang hampir ditutup lagi oleh Mei jika tidak kutahan secepatnya. Tanpa aba-aba aku masuk ke kamarnya setelah Mei kalah saat kami saling mendorong pintu itu. Saat aku berhasi masuk ke kamarnya, dia dengan sigap kembali ke tempat tidur dan duduk bersila di sana.