Melihat keadaan Mei yang memprihatinkan, takut membiarkannya berada di rumah sendiri dengan kesedihannya, aku mengajaknya ke rumah. Di sana juga akan ditangani oleh Ibu seperti pasien-pasiennya yang lain. Mau atau tidak dia ke sekolah, aku tidak akan memaksanya untuk itu.
Setelah rumah Mei bersih, aku kembali mengayuh sepeda dengan Mei di belakangnya. Saat memintanya tinggal di rumahku, dia tidak keberatan. Dia butuh teman dan itu adalah aku. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri, dalam luka dan deritanya.
Kami hampir sampai di rumah. Ketika kurasakan Mei menarik bajuku sampai aku merasa ingin terjatuh dengan beban berat di belakangku.
"Ra, Rayyan menatapku." Dia semakin kuat menarik bajuku.
Rumah Rayyan berdiri dekat dengan rumahku. Saat hendak ke rumah, kami harus melewati rumahnya, dan ketidakberuntungan ada di pihak kami. Aku juga menoleh ke rumahnya Rayyan, ternyata dia sedang menatap kami dengan buku di tangannya. Dia duduk di depan rumahnya saat itu.
"Jangan takut! ada aku," aku semakin cepat mengayuh sepedaku, karena jaraknya sudah sangat dekat. Saking dekatnya, aku melihat Bi Ina sedang menyapu halaman rumah.
Aku langsung membawa Mei masuk ke kamar. Menyuruhnya mandi lebih dulu. Sementara aku ke luar kamar.
Entah apa yang ada di pikiranku, langkahku membawaku dimana Rayyan berada, di rumahnya.
"Kamu kenal sama Mei? Kamu masih ingat dengan kelakuanmu sama dia?" aku tahu kali ini aku berbicara sama siapa. Dia mengalihkan pandangannya dari buku yang dibaca.
Rayyan adalah Mahasiswa dengan segudang prestasi. Dia ketua BEM di Fakultasnya, juara debat, tulisan ilmiahnya yang dikenal banyak orang. Ayahku selalu menyuruhku mengikuti jejaknya. Katanya, ketekunan belajarnya harus aku tiru, termasuk IPKnya yang sempurna. Tapi Ayah tidak tahu, kelakuan bejatnya menghancurkan hidup orang lain.
Aku membencinya, dia sudah menodai apa yang dia dapatkan dari pendidikannya. Menghancurkan kepercayaan dan kekagumanku padanya, sedetik hancur setelah Mei menceritakan kejadian itu padaku.
"Maksud kamu?"dia bertanya, pertanyaan basi yang hampir membuatku melayangkan pukulan. Basa-basi yang sangat membuatku muak.
"Yang tadi ada di belakangku adalah Mei. Orang yang kamu tolong di kerusuhan itu, tapi bersamaan itu juga kamu menghancurkannya. Termasuk masa depannya yang kamu renggut dengan paksa."
"Aku tidak mengerti," dia masih mengelak.
"Tidak usah sok-sokan tidak tahu apa-apa."