MEI KE 25

Marliana
Chapter #8

Senyum Mei

Rindu selalu menyiksa seseorang yang mengalaminya. Bagaimana pengobatannya adalah dengan bertemu orang yang dirindui. Tapi itu tidak berlaku untuk Mei. Dia merindukan keluarganya. Kedua orang tuanya hanya mengetahui bahwa mei bersamaku di rumahku. Mereka mendapatkan kabar itu dari Ibuku. Ternyata Rumah sakit tempat Chalin dirawat sama dengan tempat Ibu bekerja. Ibuku mencari kamar Chalin setelah kuceritakan.

Mei melakukan pengobatan di rumahku, saat Ibu sudah pulang dari rumah sakit. Ibu selalu mengajak Mei untuk berobat di rumah sakit sekaligus bertemu dengan keluarganya, tapi Mei menolak. Katanya dia tidak akan menahan tangis jika melihat Ayah dan Ibunya. Ditambah saat melihat adiknya dirawat tidak berdaya. Itu akan benar-benar menyiksanya.

"Ada yang tahu kabar Mei? Sudah seminggu dia tidak masuk sekolah tanpa kabar." Guru yang masuk ke kelas pagi ini bertanya pada kami. Soalnya mereka belum mengetahui bagaimana keadaan Mei. 

"Mei sakit Ibu," aku menjawab pertanyaan Ibu Meli. 

Siswa yang ada di kelas menatapku lega. Setelah menghilang seminggu tanpa kabar, akhirnya mereka tahu kabar Mei. 

Aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa di gedung merdeka menjadi topik pembicaraan yang sangat hangat ke luar dari setiap mulut siswa. Bahkan aku juga mendengar tentang kasus pelecehan yang sudah terjadi.

"Mei beneran baik-baik saja,Ra? Aku khawatir banget lo sama dia. Banyak tu rumor warga Tionghoa yang ada di sini dilecehkan. Katanya sih bentuk kecewa pelaku aksi yang suaranya tidak didengar pemerintah."teman-temanku menghampiri saat aku membereskan barangku dan hendak pulang. Entah jawaban apa yang harus kukatakan pada mereka.

"Baik kok. Aku sudah liat sendiri di rumahnya. Dia hanya demam biasa saja."

"Syukurlah." Mereka kompak. "Miris sekali dengan keadaan negara kita sekarang. Para mahasiswa turun jalan untuk melakukan aksi menurunkan Presiden, tapi ketika usaha mereka tidak menemui hasil, mereka lampiaskan pada warga Tionghoa yang tidak tahu apa-apa." Percakapan mereka sangat benar sekali. Kadang aku mikir, untuk apa hukum ada jika tidak digunakan dengan tepat.

"Mereka menuntut keadilan, tapi tidak adil sama perempuan yang menjadi korban. Jujur aku sangat takut. Selama kerusuhan itu terjadi, aku tidak pernah ke luar rumah selain ke sekolah. Itu pun dengan sangat deg-degan." Lanjut salah satunya lagi. 

"Sepertinya, selain mereka melakukan aksi menurunkan Presiden, mereka juga harus sadar diri bahwa keadilan milik kita semua," aku berdiri dan hendak pergi.

"Maaf semua, aku harus duluan. Soalnya ada urusan yang harus aku lakukan," aku pamit mengucapkan salam sebagai formalitas ketika pergi. Mereka juga beranjak dan kami meninggalkan sekolah.

Dalam perjalanan pulang, bukan hanya otot kakiku yang bekerja mengayuh sepeda. Yang paling bekerja keras adalah otakku. Bagaimana jika Ayah tidak berhasil melakukan rencanaku? Lalu bagaimana nasib Mei setelah ini jika dia tidak mendapatkan keadilan.

Tidak ada solusi yang kudapatkan dari perjalanan panjang dari sekolah menuju rumah. Sampai saat memasuki rumah, aku kaget melihat Ayah yang sudah berada di rumah saat jam kerjanya. Dia sedang duduk di kursi ruang tamu.

Lihat selengkapnya