MEI KE 25

Marliana
Chapter #9

Tulisanku untuk Mei

Rasanya kakiku begitu gemetar saat memasuki pekarangan yang akan kutemui pemilik rumahnya sekarang. Bahkan rasa gemetar itu semakin menjadi karena yang kudengar pertama adalah pertengkaran saat aku hendak mengetuk pintu.

Suaranya jelas sekali sangat keras terdengar olehku. Sepertinya Panglima Azkara ada di rumahnya, dan sepertinya juga dia sedang bertengkar dengan Rayyan. Bahkan aku mendengar mereka menyebut nama Mei. 

"Assalamualaikum." Saat aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, mendadak suara itu hening dan orang di dalamnya membukakan aku pintu.

Sepertinya kali ini bukan hanya kakiku saja yang bergetar, tapi seluruh tubuhku. Ketika kulihat seseorang berdiri tegak dengan suaranya yang tegas. Ayahnya Rayyan yang membukakan pintu. Kami berhadapan saat ini. 

Seharusnya aku tidak kaget dengan suara yang terdengar tegas itu, karena suara Ayahku juga sama. Tapi alasan yang membawaku datang ke rumahnya Panglima Azkara adalah alasan besar aku merasa ketakutan.

"Eh, ada Lara. Masuk nak!" Dia menyuruhku masuk ke rumahnya. Nadanya masih kudengar tidak menghakimiku. 

"Terima kasih,om." Panglima Azkara dan keluarganya bisa dibilang dekat dengan keluargaku. Itulah mengapa aku sangat mengenal dengan sangat seorang Rayyan.

Aku masuk ke dalam rumahnya. Kulihat Rayyan berdiri mematung menatapku dengan tatapan tidak suka. Setelahnya aku duduk dan Rayyan juga ikut duduk. Saat Panglima Azkara datang, dia juga langsung duduk.

"Soal Rayyan, kan?" Panglima Azkara memulai, dan langsung pada intinya. "Coba jelaskan!" Dia menyuruhku. Entah kalimat apa yang akan kugunakan untuk membuka. Aku benar-benar diterpa kegugupan sekarang.

Aku menghela napas, berdoa dalam hati semoga saja tidak ada kalimat yang langsung menghakimi dan membuat mereka marah sebelum penjelasan ku selesai.

"Mei Yin adalah sahabatku," aku mulai bicara. "Saat pertama kali masuk sekolah setelah kerusuhan mulai mereda, dia masuk sekolah. Dia aneh sekali. Diam dan tidak mau berbicara pada siapa pun, bahkan dia membentakku saat aku bertanya padanya." Lanjutku. Kulihat Rayyan menundukkan pandangannya.

"Hari kedua sekolah, dia malah tidak masuk. Aku mencarinya dan mendatangi rumahnya. Memaksanya bicara dan bercerita. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah dilecehkan, dan itu oleh anak om. Rayyan," aku bergetar menyelesaikan kalimat panjang yang akan jadi penentu.

"Benar itu Rayyan?" Dia bertanya pada anaknya yang tadi menunduk lalu menatap Ayahnya.

"Dia fitnah Rayyan, Ayah. Ayah sendiri tahu bahwa Rayyan tidak akan melakukan hal sekeji itu." Huh, dasar manusia berwajah dua. Munafik sekali dia. Ekspresinya dipasang seolah dialah yang disalahkan disini, korban pada perbuatannya sendiri.

"Kamu dengar sendiri kan, anak saya tidak akan melakukan hal murahan seperti itu. Kamu tahu, keluarga kami menjunjung tinggi adab. Kelakuan seperti itu tidak akan dilakukan oleh anak saya. Itu tidak mungkin." Dia membela anaknya.

Lihat selengkapnya