Segala sesuatu pasti akan mendapatkan sesuai dengan yang dilakukan. Aku menggerutu diriku sendiri dalam perjalanan berangkat ke sekolah. Menulis sampai tengah malam dan paginya aku harus berangkat ke sekolah. Seni yang mudah untuk menyiksa diri sendiri. Selain itu, aku harus mampir ke penerbit untuk mengantarkan tulisanku meski aku sangat tahu bahwa aku sudah sangat-sangat terlambat ke sekolah.
Tidak masalah dihukum, karena pasti mengayuh sepeda dengan kekuatan super juga akan menghasilkan akhir yang sama. Akan terlambat juga.
Buru-buru aku memarkirkan sepedaku setelah sampai di halaman penerbit yang kutuju.
"Mang, ini tulisanku," aku meletakkan beberapa kertas dengan tulisanku di dalamnya. Orang yang di depan kontan kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
"Neng Lara, bikin kaget saja." Sudah kuduga, dia pasti kaget.
"Ini tulisan terbaru, saking barunya, aku baru tulis semalam dan dibuat bergadang akhirnya aku akan terlambat ke sekolah," kataku buru-buru dan pergi begitu saja.
Pas di pintu ke luar, aku mendengar Mang Udin bertanya lagi. "Ini fiksi atau non fiksi?" aku berhenti dan menoleh menjawab pertanyaannya.
"Kayaknya non fiksi de mang. Soalnya tokoh utamanya sahabatku sendiri." Dia bertanya saat kulihat membaca sinopsisnya. Jawabanku juga ambigu sekali. Tidak mempunyai kepastian. "Terserah Mang Udin aja mau jadikan fiksi atau non fiksi. Aku juga tidak berharap tulisan itu terbit, soalnya alurnya berantakan benget. Efek marah gitu." Langkahku semakin cepat menuju sepedaku terparkir. Entah apa yang dipikirkan Mang Udin, tapi kujadikan tulisan yang kuberikan itu juga sebagai latihan menulis. Sama sekali tidak mempunyai harapan terbit.
Aku semakin menggerutu saat kulihat gerbang sekolah akan ditutup oleh satpam. Aku turun dari sepeda dan mendorongnya dengan cepat dan mencegah pak satpam menutup gerbang sebelum aku masuk.
"Pak.. jangan tutup dulu," aku merengek memasang wajah sedih dan menahan pagar itu ditutup dengan tanganku. Susah-susah mengayuh sepeda dengan jarak jauh, malah dilarang masuk.
"Kamu sudah terlambat, aturan di sini, kalau terlambat berarti tidak boleh masuk." Pak satpam itu melihat jamnya untuk memastikan kalau aku benar-benar sudah terlambat.
"Hanya semenit doang pak. Lagian saya terlambat bukan karena sengaja, tapi tadi ban sepeda saya bocor. Jadi saya mampir dulu ke bengkel untuk menambal." Alibiku membuat satpam itu seperti menimbang sesuatu. Aku berdoa dalam hati semoga saja satpam itu masih mengijinkan aku masuk, juga semoga saja Tuhan mengampuni dosa berbohongku.
"Yaudah, silahkan masuk. Kali ini alasan kamu masih bisa diterima. Lain kali jangan terlambat lagi." Dia menyuruhku masuk.