Semenjak kejadian yang menimpa Mei, dia tidak pernah lagi pergi ke sekolah. Aku paham, dia pasti sangat trauma dengan hal yang menimpanya. Aku juga pernah mengajaknya untuk sekolah lagi, tapi alasannya akan tetap sama. Dia akan tambah terganggu dan semakin ingat tentang kejadian buruk itu.
Setelah seminggu mengirimkan tulisanku ke penerbit, kepada mang Udin. Pihak penerbitnya menghubungiku dengan telepon rumah agar aku menemuinya. Aku memutuskan untuk menemui mang Udin setelah dari sekolah. Kejadian terlambat kemarin sudah cukup menjadi pelajaran bahwa aku harus selalu mendahulukan sekolahku. Meski menulis adalah hal yang sama pentingnya bagiku.
Mulai dari pintu gerbang aku heran melihat semua mata tertuju padaku. Bukan hanya siswa saja, tapi kulihat guru juga sama. Aku berpikir sejenak bahwa kesalahan apa yang telah kuperbuat sampai membuat aku menjadi pusat perhatian.
"Kalian kenapa sih? Bukan di lapangan, di kelas juga aku mendapatkan tatapan mengherankan dari kalian." Demoku saat memasuki kelas. Benar adanya, mereka sedang memperhatikan ku tanpa kecuali.
"Mei jadi korban pelecehan juga, kan Mei?" Tanya Zarah. Kalimatnya membuatku menelan pertanyaan pahitnya. Yang paling parah, aku terjebak dengan pertanyaan itu sekarang. Aku dikepung oleh wajah temanku yang lain menunggu jawabanku.
"Kenapa kamu bisa mengatakan itu?" tanyaku. Aku masih berdiri lengkap dengan tasku. Pertanyaannya mengurungkan niatku untuk duduk lebih dulu.
"Kamu berusaha menyembunyikan fakta, tapi tidak dengan tulisanmu ini." Dia menyodorkan sebuah surat kabar yang sekilas kubaca itu terbitan penerbit mang Udin.
Kuambil surat kabar itu dan memperbaiki dudukku. Rasanya baru pagi-pagi aku sudah diguncang dengan fakta mengejutkan ini.
"Ini fiksi, kok." Alibiku yang sangat terdengar kebohongan sekali.
"Lara. Kami memang bukan penulis, tapi nama tokoh yang kamu gunakan ini adalah nama Mei. Kejadiannya juga adalah kejadian pelecehan yang akhir-akhir marak terjadi, tokoh dalam ceritamu juga sama persis dengan cerita Mei yang sudah lama tidak sekolah. Kami masih mengerti pelajaran bahasa Indonesia tentang novel fiksi dan non fiksi." Zarah mewakili semua suara temanku.
Aku lupa, meski tidak berharap akan terbit, tapi setidaknya nama Mei tidak kugunakan dalam cerita itu. Dalam cerita aku juga menggunakan nama Rayyan dan panglima Azkara. Gawat, Ayah pasti sudah membaca surat kabar dan mengetahui ceritaku yang benyak mengundang pembaca.
Aku menunduk dalam. Aku sangat pusing dengan kejadian yang kubuat sendiri. Habis riwayatku jika tulisan ini sampai pada Ayah. Sudah jauh hari aku diberi peringatan untuk tidak lagi mengurus masalah ini. Ditambah jika kedua orang tua Mei melihat tulisanku, juga melihat nama penulisannya. Benar-benar kacau.