MEI KE 25

Marliana
Chapter #14

Tangis pilu

Mengikuti sosialisasi adalah hal yang paling menghabiskan waktu. Sore hari aku baru pulang dari sekolah karena benar-benar acaranya banyak sekali. Kukira dia akan memperkenalkan garis besar dari universitasnya saja, tapi setiap perwakilan fakultas menampilkan dan menunjukkan hal apa yang menarik di sana. 

Bagaimana pun indahnya pertunjukan, aku hanya tertarik pada program studi sastra. Pada puisi-puisi karya organisasi dalam jurusan itu.

Kuputuskan untuk pulang dan akan kembali ke penerbit Mang Udin besok pagi. Aku takut Ayah akan marah ketika aku akan pulang lewat dari jam pulang sekolah. Meski alasannya bisa dimaklumi, tapi aku tahu amarah Ayah akan mencampur adukkan dengan tulisanku dan Rayyan. Itu pasti.

Pulang sekolah aku tidak pernah ke ruangan lain di rumahku selain kamarku. Meski rasanya sangat lapar, tapi tubuhku lebih membutuhkan tempat untuk diluruskan. Saat di kamar, ada yang beda dari biasanya. Mei yang selalu kutemui tidur atau duduk di kamar saat pulang sekolah, kini tidak ada. 

Kulupakan tubuh lelah itu dan kembali ke lantai satu saat tidak mendapati Mei di kamar. Seragam yang masih kugunakan dan hanya melepas tas saja. 

"Mei kemana, Bi?"kudapati Bi Ina yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan.

Dia menghentikan kegiatannya dan beralih menjawab pertanyaanku. "Tadi bibi dapat telpon, katanya dari orang tua Mei. Terus bibi panggil non Mei untuk panggilan itu. Bibi tidak mendengarkan apa yang dibicarakan, tapi setelah teleponnya putus Mei ke kamar dan kembali lalu pamit sama bibi. Katanya mau ke rumah sakit karena katanya adiknya semakin kritis." Penjelasan Bi Ina sangat jelas. Aku kembali ke kamar setelah mengucapkan terima kasih atas informasinya.

Tidak lama, hanya mengganti seragam saja lalu pamit ke Bi Ina dan memintanya menyampaikan izin kepada Ayah dan Ibuku ketika mereka datang.

Saat sosokku dilihat olehnya, aku ditahan dan ditawari makan. "Makan dulu non. Tadi ada kiriman makanan dari teman bapak." Dia memperlihatkan tempat makanan yang tersusun dari beberapa bagian. 

Aku menolak. Aku juga tidak penasaran teman Ayah yang mana mengirimkan makanan untuk kami. "Tidak dulu bi. Aku tidak lapar. Bilangin Ayah Ibu ya. Aku mau ke rumah sakit dulu," aku segera pergi dari sana. 

Berangkat dengan menggunakan celana training hitam dan baju kaos panjang berwarna putih, aku mengayuh sepedaku menuju rumah sakit tempat Chalin dirawat. Setelah bertanya pada petugas administrasi, aku mendapatkan Chalin dirawat di ruang IGD. Kulihat kedua orang tuanya berada di ruangan yang sama. 

"Kenapa di sini, nak?" Suara Ibu mengejutkan aku yang sedang memperhatikan Chalin dari jendela kaca besar di depan. Dia juga berdiri bersamaku sekarang. 

Lihat selengkapnya