Saat Tante Risya Mamanya Mei datang, aku semakin menangis melihatnya menangis. Bagaimana tidak, dia melihat anaknya terbujur kaku di rumahnya sendiri. Meninggal karena bunuh diri adalah sesuatu yang paling menyakitkan.
Aku memberikan sebuah amplop yang entah isinya apa. Kurasa itu dari Mei karena kutemukan di meja saat ada di sini dan dituliskan untuk Mamanya. Tante Risya membacanya membuatku penasaran. Sedangkan Papanya Mei memandang kosong anaknya yang kini tidak bernyawa. Walau bagaimanapun, dia harus mengurus mayat anaknya yang akan dikebumikan.
Belum mengetahui apa isi amplop itu, aku kembali pulang saat mendapatkan telepon dari rumah. Aku disuruh pulang oleh orang rumah, tapi aku sama sekali tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Padahal aku sudah memberitahu bahwa Mei meninggal dan mereka juga mengatakan akan datang.
Aku ke luar dari rumah setelah pamit sebentar. Aku sudah berjanji bahwa saat urusanku selesai, aku akan kembali. Rupanya rumah Mei sudah didatangi banyak orang, terutama keluarganya.
Hari yang paling mengejutkan, kudapati Ayah dan Ibuku duduk lemas di meja makan. Jangan lupakan juga Bi Ina yang mengalami hal yang sama.
"Ini kenapa? Kalian kenapa?"aku panik setengah mati melihat keadaan mereka.
"Kami sakit perut dan muntah-muntah non." Bahkan Ayah dan Ibuku sudah tidak kuat untuk sekedar berbicara padaku.
"Tolong ambilkan kami air putih dan belikan obat," aku memenuhi perintah Ibu meski bicaranya tidak jelas. Aku berlari ke apotik terdekat. Konyol, aku tidak bertanya pada ibu jenis obat apa yang harus aku beli. Kalau aku kembali ke rumah ini akan memakan waktu.
Setelah modal nekat menjelaskan bagaimana keadaan semuanya di rumah, aku pulang mendapatkan obat. Aku juga tidak tahu obat apa itu, tapi keadaan orang rumah kujelaskan dengan sangat detail.
Buru-buru aku pulang dengan sepedaku, tapi saat hampir mendekati rumah seseorang manahanku dan berakhir berdebat lagi. Sedangkan orang rumah sedang menungguku.
"Apa lagi?" Rayyan di depanku merentangkan tangannya agar aku tidak bisa melewatinya.
"Obat untuk Aya Ibumu?"tanyanya. Kulihat ekspresinya, itu bukan pertanyaan, tapi ejekan.
"Ini obat untuk siapa kamu tidak punya urusan apa pun. Minggir."
"Tenang dulu. Biar saya beritahu, bahwa mereka keracunan makanan yang saya berikan. Saya sudah memberi obat sakit perut dan sedikit sianida." Bercandanya sangat tidak jelas. Kurasa dia berbohong, kalau di makanan yang dimaksud punya sianida, kurasa Ibu Ayah dan Bi Ina tidak akan bisa bertahan.