Sebuah suara menakutkan diiringi dentuman hebat menggetarkan benda-benda di sekitar. Aku menoleh bingung berusaha mencari jawaban atas apa yang terjadi. Seorang perempuan berkulit putih dan dua orang laki-laki yang duduk di dekat pintu, terdiam seolah tak terjadi apapun. Aku kembali menoleh ke luar pintu, arah suara menakutkan itu berasal. Sebuah besi raksasa melintas sangat cepat di atas bantalan besi panjang.
“Hira, tidak usah takut, dia tidak akan berani kemari.”
Perempuan berkulit putih berbicara ke arahku sambil tersenyum yakin. Lewat senyuman itu seolah ia berkata agar percaya saja padaku, sekilas aku ingin begitu saja memercayai kata-katanya, namun besi besar lebih menakutkan.
“Kemari, Hira, jangan takut,” ucapnya lagi sembari mengulurkan tangan. Aku yang tanpa sadar sudah menjauhi pintu menoleh kebingungan. Rupanya aku sangat takut hingga mundur beberapa langkah.
Besi raksasa bersuara menyeramkan yang bergerak cepat itu melintas sekitar 10 menit kemudian berakhir. Sisa getaran dan angin kencang yang mengiringinya tertinggal di belakang. Baru menghilang beberapa detik setelah besi raksasa benar-benar lenyap.
Perempuan itu masih tersenyum ke arahku sebelum kemudian kembali berbincang dengan dua orang laki-laki. Mereka bertiga, orang-orang yang tak kukenali itu, mereka tidak bereaksi sama sekali dengan besi besar menakutkan, semuanya berjalan seolah tak pernah melintas apa-apa.
Aku melihat sekeliling, memperhatikan orang-orang, benda-benda, dan suasana di sekitarku. Tidak banyak yang kuingat, hanya beberapa potong kejadian. Kurasa aku mengalami amnesia setelah kuingat ada perjalanan panjang yang kutempuh dalam keadaan gelap gulita. Samar-samar aku mengingat ibu dan dua orang saudara perempuanku, kami bermain bersama seorang laki-laki yang wajahnya pun tak dapat kuingat dengan baik.
“Hira Sheza, namamu.”
Salah satu dari dua orang laki-laki itu berbicara kepadaku dengan lantang. Aku memerhatikan wajahnya yang tersenyum namun tetap menakutkan. Apakah laki-laki memang diciptakan dengan wajah tegas dan seram seperti itu? Agar apa? Bisa melindungi perempuan?
"Halo, Hira!”
Laki-laki lain menyapa, wajahnya datar meski sambil tersenyum. Wajah laki-laki ini lebih ramah ketimbang laki-laki yang menyebut sebuah nama yang katanya nama lengkapku. Setelah menyapaku sekilas, dengan cekatan ia membereskan barang-barang serba merah muda yang berserakan.
"Apa namaku Hira?” tanyaku pelan dengan wajah ragu-ragu. Aku tak punya apapun, tak mengingat banyak, dan orang-orang ini terlihat baik. Tentu saja tak ada pilihan lain bagiku selain mempercayai mereka.
“Ya, Hira ....”
Perempuan itu dengan cepat menjawab. Matanya berbinar-binar menatap ke arahku dengan tersenyum cerah. “Kau lucu sekali,” lanjutnya.
Aku hanya diam menatapnya, aku menyadari bahwa aku memang lucu. Sebuah pantulan dari cermin hitam menyatakan demikian. Beberapa saat aku menatap diriku, memerhatikan, dan berusaha mengingat. Setidaknya jika aku lagi-lagi melupakan banyak hal, aku tidak melupakan diriku sendiri. Sebuah wajah bulat dengan dagu lancip dan mata bulat yang tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Hidung tidak mancung, tidak juga pesek dengan bibir kecil dan gigi putih rata. Aku menyukainya, wajahku, terutama mataku yang sepertinya jauh lebih indah ketimbang mata siapa pun di tempat ini.
Buuuuummmmm jeeeesssssssss....
Derungan itu kembali terdengar diiringi getaran hebat. Aku melongok cepat ke luar pintu dan lagi-lagi sebuah benda besar yang menjadi asal suaranya. Orang-orang di sekitarku, lagi-lagi tetap berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Angin bertiup kencang dari arah luar, debu bertebaran, jendela dan pintu rumah menutup cepat menimbulkan suara sangat berisik.
“Tenang Hira, semua baik-baik saja. Mereka tidak akan berhasil mencapai kita!” seru perempuan itu di tengah bisingnya suara dan kacaunya suasana.
Lagi-lagi aku berusaha percaya, namun gerak tubuh dan sorot mataku mengatakan hal berbeda. Perempuan itu tertawa melihat aku ketakutan dan segera mendekat kemudian mengajakku ke dalam sebuah kamar sederhana yang cukup berantakan.
“Kuni, temani Hira sebentar,” kata perempuan itu kepada perempuan lain yang tengah berbaring.
“Oke, Sel,” jawab perempuan bernama Kuni.
Kini tinggallah aku berdua dengan perempuan yang dipanggil Kuni yang segera tersenyum menyambutku.
“Halo, Hira! Namaku Kuni, yang tadi itu Tisela,” jelas Kuni padaku.
Aku mengangguk dan berusaha mengingat nama-nama mereka. Setelah berkata aku bebas menempati kamar ini, Kuni kembali sibuk dengan gawai hitam di tangannya. Kurasa perempuan berkulit lebih gelap dari Tisela itu tengah asyik menonton film. Sorot wajahnya begitu serius melihat ke arah gawai sambil sesekali tertawa.
Kamar itu tidak terlalu besar dengan kamar mandi dan balkon kecil yang beralih fungsi sebagai tempat menjemur pakaian. Sebuah ranjang membentang sepanjang dinding sebelah kiri jika kau menghadap ke arah pintu. Almari buku besar di pojok kanan dan kipas angin bersuara aneh berdiri tepat di samping pintu dan ranjang. Kamar ini sedikit berantakan, kain berserakan di mana-mana dan pasir di pojok-pojok tak terjamah.
Aku melihat sekelling, lagi-lagi berusaha mengingat dengan baik setiap sudut ruangan ini. Aku tidak ingin kehilangan ingatanku lagi dan harus kebingungan seperti orang bodoh. Cat hijau yang sejuk, jendela dengan gorden yang kurasa cukup aneh, lantai berdebu, lantai basah, barang berserakan, dan aroma kamar yang begitu khas.
“Hir, Hiraa!” Kuni tiba-tiba memanggilku. Matanya sudah lepas dari gawai dan mulai menatapku dengan seksama.
“Hai, Kuni,” sapaku ragu-ragu.