Hawa panas menyelubungi seluruh tubuhku yang rasa-rasanya sudah basah oleh keringat. Membuatku mulai mengerti mengapa kipas tua berbunyi aneh diletakkan tepat di samping ranjang. Tisela sempat memindahkanku ke atas ranjang namun hawa panasnya membuatku tak tahan. Dengan langkah gontai setengah sadar karena mengantuk, aku melangkah turun dan memilih tidur di lantai.
Saat terbangun aku tidak mendapati Tisela di kamar, hanya ada Kuni dan satu lagi orang asing. Perempuan berambut lurus panjang tengah sibuk memakai riasan di wajahnya. Dari pakaiannya yang begitu rapi, aku tahu perempuan itu hendak pergi meski entah ke mana.
“Hai, cantik! Sudah bangun?” sapanya tersenyum begitu melihatku membuka mata.
“Yah, seperti yang kau lihat,” jawabku.
“Namamu Hira, kan?” tanya perempuan itu lagi sambil kembali menghadap ke cermin.
“Bukankah sekarang namaku Mei?” aku balik bertanya.
“Namanya Mei, bukan Hira!” Tisela yang tiba-tiba muncul entah dari mana mempertegas jawabanku dengan nada sedikit tinggi.
“Oh, oke Mei,” perempuan itu menjawab pelan, “kenalkan aku Tiana.”
Tiana, nama yang bagus, batinku.
“Pergi ke mana lagi?” Tisela duduk di sampingku lalu mengusap bahuku lembut.
“Undangan mengisi acara ulang tahun di rumah teman,” jawab Tiana, menyemprotkan parfum. Selesai merias wajah, perempuan itu bergerak cepat menyiapkan beberapa hal dan bergegas mencari sepatu.
“Aku berangkat, daah!” serunya sambil berjalan meninggalkan halaman depan.
Aku masih merebahkan diri dengan malas, kurasa perutku lapar, tapi di mana aku akan mendapat makanan?
“Lihatlah Tiana,” kata Tisela yang menatapku, “dia selalu membiarkan piring kotornya berserakan,” katanya lalu menunjuk tumpukan piring kotor di dekat kardus.
“Itu bukan urusanmu, Sel, jangan dipikirkan,” sahutku tak acuh.
Mendengar jawabanku, Tisela menunjukkan tatapan seriusnya, “memang sudah bukan zamannya perempuan hanya mengurus dapur dan sumur, tapi perihal kebersihan adalah kewajiban setiap manusia, baik laki-laki atau perempuan.”
Aku diam mendengar Tisela berkata seperti itu, mencoba tak peduli dan hanya diam. Satu hal yang kemudian kuingat dengan baik bahwa Tisela tidak menyukai hal-hal kotor, berantakan, dan ketidakdisiplinan. Tapi kenapa kamar ini kotor sekali? Aku tertawa geli dalam hati.
“Makan, yuk, Mei!” ajak Tisela, wajahnya sudah tidak tampak seperti tadi, ia tersenyum lembut ke arahku.
“Makan apa?” tanyaku.
“Aku telah menyiapkan makanan lezat untukmu!” Tisela tersenyum, langsung menarikku beranjak bangun menuju tempat makanan lezat yang sudah disiapkan seperti katanya.
Kami melangkah meninggalkan kamar, sekilas kulihat Kuni masih tertidur pulas dengan kedua tangan memeluk gawai. Tisela menyuguhkan sepiring penuh makanan beraroma gurih, aku merasakan air liurku memenuhi rongga mulut.
“Enak sekali, Sel!” seruku senang sambil terus menikmati makanan suguhan Tisela.
“Aku senang kau menyukainya.”
“Apa kau membuatnya sendiri?” tanyaku kepada Tisela sambil mengunyah.
Tisela tertawa kecil, “tentu tidak, aku mendapatkannya dari Roma.”
“Siapa Roma?”