Satu minggu berlalu, aku sudah semakin mengenal dengan baik karakter setiap orang di dalam rumah ini. Mereka akan baik di saat-saat baik dan akan berubah menakutkan di saat-saat menakutkan. Meski begitu, satu hal yang pasti bahwa mereka tidak saling menyakiti secara fisik.
“Mei, sudah makan?” suara Tisela berteriak dari balik persegi gelap.
“Sudah!” seruku berbohong.
“Belum, Sel!” serobot Kuni tak mau kalah.
Aku mendengus, Tisela sering sekali mengingatkanku untuk makan seolah tak ada hal lain yang akan ia tanyakan.
Duk! Duk! Duk! Duk!
Suara langkah kaki Tisela mendekat dari arah persegi gelap, aku segera lari bersembunyi. Pasti ia muncul untuk mengontrol jadwal makan dan memaksaku makan tentu saja. Makanan yang menunya tetap sama sejak hari pertama aku tiba itu membuatku muak.
“Mei! Di mana kau?” Setibanya di atas, Tisela berseru memanggil.
Aku bergeming dalam persembunyianku, membiarkannya mencari.
“Mei!” serunya lagi.
“Mei tidak ada?” Kuni keluar dari kamar, menghampiri Tisela yang mulai panik.
“Ke mana dia?”
“Tadi di sini, kok,” jawab Kuni heran, melihat sekeliling berharap melihatku.
“Tidak ada.”
“Ayo cepat cari, Sel!” Kuni mulai berseru panik.
“Mei!!” panggil Tisela dan Kuni bergantian.
Aku terkikik kecil, lucu sekali mendengar mereka panik seperti itu. Persembunyianku sangat tersembunyi dan tidak akan ada yang akan menemukanku. Aku sudah tidak peduli meski nanti mereka akan memarahiku habis-habisan. Mereka tidak akan menghukumku lebih dari tiga jam dalam kamar jeruji itu.
Dari celah kecil tempatku bersembunyi, terlihat Tisela membuka pintu yang membatasi kami dengan besi berjalan besar. Cahaya terang menyorot dari arah luar, pun angin sepoi yang sangat sejuk. Mataku tiba-tiba tidak berhenti melihat ke arah luar, jantungku berdegup takjub, apa ada hal-hal menarik di balik pintu itu?
Tanpa sadar aku melangkah keluar dari tempat persembunyian, terus berjalan mendekati pintu. Tanah cokelat terhampar, dihiasi bebatuan kecil dan rumput hijau yang bergoyang tertiup angin. Aku menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang sedang memantauku. Pemandangan menakjubkan di luar seolah menghipnotis, membuatku lupa akan besi besar bersuara menakutkan.
“Mei!!”
Suara Tisela menggema dari arah kanan, ia berjalan dari luar mendekatiku.
“Sembunyi di mana, sih?!” serunya.
Sebelum Tisela melewati pintu dan menginjakkan kaki di dalam rumah, aku bergerak gesit. Kakiku melompat dan berlari menerobos pintu, berusaha lolos dari gerakan sigap Tisela yang langsung memahami maksudku.
Hap! Aku tertangkap.
“Mau ke mana??” Tisela menatapku kesal, tangannya menggenggam lenganku erat, membuat aku kehilangan kesempatan berlari ke luar.
“Aku cuma ingin lihat-lihat!” jawabku yang juga menunjukkan ekspresi kesal.
“Kau mau kabur, ya, Mei?!” tebak Tisela, mengabaikan jawaban bohongku.
“Tidak!”
Tisela mendengus, “jangan aneh-aneh, di luar sana berbahaya!” katanya tegas.
Tak berapa lama kemudian Kuni muncul di belakang Tisela, wajahnya tampak kelelahan mencariku. Saat melihat aku sudah bersama Tisela, Kuni meremas pipiku gemas, meluapkan rasa jengkelnya.
“Nakal sekali, Mei, sembunyi di mana dia?” tanya Kuni.
“Entahlah, saat aku kembali Mei sudah mau kabur,” jawabnya.
“Aku hanya lihat-lihat, tidak kabur!” seruku membela diri.
Tisela dan Kuni hanya mendengus tidak percaya.