Tidak terdengar ayam berkokok, tidak terlihat matahari terbit, bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan telah dimulai. Kamar masih sama seperti berjam-jam lalu, remang dengan penyinaran hanya dari lampu tidur merah. Sesekali aku terbangun, entah jam berapa, tapi Tisela masih saja tidur dengan pulas. Apakah malam ini memang lebih panjang dari malam-malam sebelumnya? Ataukah terjadi perbedaan waktu saat aku melintasi persegi gelap itu?
Sangat lama aku menunggu namun pagi tak kunjung tiba dan Tisela masih saja tertidur. Sementara perutku mulai meronta kelaparan, aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari persegi gelap. Maka kuputuskan untuk membangunkan Tisela, perut lapar menjadikan seseorang tak gentar melakukan apapun.
“Tisela, bangun!” kataku pelan sambil mengguncang bahunya pelan agar Tisela tak terkejut.
“Tisela aku lapar sekali,” kataku sambil terus berusaha membangunkannya.
“Aku lapar dan tidak tahu bagaimana caranya keluar dari sini.”
“Tisela, bangunlah, kumohon!”
Aku terus berusaha menggoyangkan tubuhnya sampai bangun. Sesekali Tisela terusik dan membalikkan badan tapi ia tetap tidak membuka mata.
“Tisela!” seruku agak keras tepat di telinganya.
“Meeeii!”
Aku terlonjak girang mendengarnya menyebut namaku, itu berarti Tisela sudah bangun dan akan mengantarku makan. Perempuan itu meregangkan tubuhnya sebentar lalu menatap ke arahku dengan mata sayu.
“Ada apa, Mei?” tanyanya lirih, setengah sadar.
“Aku lapar, Sel,” jawabku sembari mengisyaratkan hidangan makanan, “sangat lapar!”
Tisela tersenyum, “baiklah, memang sudah waktunya kau makan.”
“Cepat bangun dan antar aku!” seruku tak sabaran.
“Iya-iya, Mei,” Tisela beranjak duduk, menguncir rambut lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, berusaha sepenuhnya tersadar.
Dengan langkah gontai Tisela mengantarku melewati persegi gelap dan muncul di depan kamar Kuni. Pengalaman yang berbeda saat melewati persegi gelap untuk pertama kalinya saat menuju ke ruangan Tisela. Jika tadi aku merasa semakin lama tubuhku semakin rendah, kali ini aku merasa semakin tinggi. Terkecuali bunyi ‘duk’ yang khas itu sama sekali tidak berubah.
Sekeluarnya dari persegi gelap, Tisela dengan cekatan menyiapkan makanan instan untukku. Makanan yang tidak berubah sedikit pun sejak pertama kali aku datang ke tempat ini.
“Adakah makanan lain?” tanyaku saat Tisela menyodorkan semangkuk makanan membosankan itu padaku.
“Makan ini dulu, Mei, makanan barumu belum datang,” kata Tisela tanpa tersenyum, kurasa ia masih mengantuk.
“Baiklah, Sel, terima kasih,” kataku lalu mulai menyantap.
Rasa makanan ini memang cukup lezat dengan bau yang tidak membuat perut merasa mual. Tapi jika aku harus memakannya setiap hari, sama saja lidahku merasa bosan dan muak. Sayangnya sebagai tamu aku tidak bisa banyak memprotes atau mereka akan memarahi dan menghukumku. Sesekali aku menolak untuk makan atau hanya memakannya sedikit sebagai bentuk protes non verbal.
“Bosan, ya, Mei,” seloroh Tisela yang duduk menemaniku makan, “sebentar lagi makanan barumu datang.”
“Dari om Roma lagi?” tanyaku, merespon biasa kabar yang sudah kudengar itu.
“Tentu saja, Mei, aku hanya bertugas menemani dan menjagamu.”
“Tentu saja aku lebih butuh makanan ketimbang ditemani dan dijaga,” jawabku sambil terus mengunyah.
Tisela tidak menjawab, wajahnya mendadak murung dan sedih. Tentu saja aku langsung merasa bersalah, selama ini Tisela yang bersikap paling baik padaku. Mengingatkanku makan, menyiapkannya, bahkan menemani tanpa absen sedikit pun. Ia bahkan rela bangun tengah malam untuk mengantarku melewati persegi gelap.
Tapi tunggu, kutolehkan wajahku ke menghadap jendela, melihat ke arah luar yang terang-benderang. Aku hampir tertawa mengetahui matahari sudah naik tinggi, hari sudah siang sejak tadi. Rupanya terang ruangan ini bukan karena lampu tapi karena cahaya matahari. Bagaimana bisa di dalam persegi gelap masih saja gelap sementara di sini terang?
“Apa yang kau lihat Mei?” tegur Tisela melihatku bengong menatap jendela.
“Tidak ada,” jawabku, terburu-buru memalingkan wajah dan kembali makan, aneh, pikirku.
Setelah merasa cukup kenyang aku memutuskan berhenti, masih tersisa separuh makanan di atas piring. Aku terlalu bosan untuk menghabiskannya dan memutuskan segera minum. Tisela mengerutkan kening melihatku lagi-lagi menyisakan makanan, seharusnya ia tahu kenapa aku melakukannya.
“Bersantailah dulu, Mei, mungkin sebentar lagi makanan baru akan datang untukmu,” kata Tisela setelah membantuku membereskan sisa makanan, menyimpannya untuk nanti.
Aku mengangguk, melihat Tisela kembali ke persegi gelap membawa nampan-nampan makanan. Kali ini aku tidak mengikutinya dan memilih duduk diam di kamar Kuni, memikirkan perbedaan waktu di dalam persegi gelap.