Mei Memories

Islaa Ed
Chapter #6

Strategi Melarikan Diri

“Tangkap Mei! Tangkap!”

Tisela berseru-seru riang, aku berlari mengejar bola bercorak gambar-gambar persegi lima hitam dan putih. Kami sedang bermain tangkap bola, di mana aku dan Tisela akan bergantian melempar dan menangkap bola. Sudah hampir setengah jam berlalu tapi permainan ini sangat menyenangkan untuk berhenti. Napas kami memburu, kulihat keringat bercucuran di pelipis Tisela tetapi wajahnya tampak ceria.

Dua hari berlalu sejak menu makanan baru datang, aku belum terbiasa dengan makanan itu dan terus menyisakan makanan yang disuguhkan. Meski kesal, Tisela tetap bersikap baik padaku, berbeda dengan hari-hari saat pertama kali aku tinggal di sini. Mungkin karena ia merasa sudah lebih akrab denganku dan tidak pantas untuk menghukumku lagi.

“Sudah Mei, aku lelah,” kata Tisela sambil menangkap lemparan bola dariku.

“Istirahat saja dulu,” aku menyahut penuh semangat, merasa masih kuat untuk meneruskan permainan.

“Hhhh, Mei, nanti lagi kita main,” Tisela menyerah, melempar bola ke sembarang tempat lalu merebahkan dirinya di lantai.

“Baiklah,” jawabku sembari melihatnya dengan kasihan.

Kurebahkan tubuhku di samping Tisela, mengatur napas yang terengah-engah agar kembali tenang. Dari posisi telentang seperti ini, aku bisa melihat seluruh bagian persegi gelap dengan jelas. Persegi gelap itu tidak lagi menakutkan karena aku sudah mulai biasa melewatinya bahkan tanpa bimbingan Tisela. Beberapa kali aku mencoba berlari saat melintasinya, menimbulkan bunyi ‘duk-duk’ yang berdurasi cepat.

Di ujung persegi gelap, berdempetan dengan kamar mandi dan kolam air lezat, sebuah pintu berdiri kokoh. Pintu itu jarang sekali dibuka, aku pernah satu kali melihat Tisela membukanya dan melihat sebuah pemandangan menakjubkan. Pepohonan hijau, aroma sungai, suara-suara merdu, dan angin yang menyejukkan. Saat itu aku berlari mendekat tapi Tisela mencegahku, katanya di luar sana berbahaya.

“Mei, aku mengantuk sekali,” lirih Tisela dengan mata yang berkedip pelan.

“Tidurlah,” sahutku.

“Jangan ke kamar mandi, ya?”

“Tenang saja,” aku mengangguk yakin.

Tisela tersenyum, mengusap kepalau sebagai penghargaan karena aku menurutinya sebelum kemudian perlahan terlelap. Aku menyunggingkan senyum licik, tentu aku tidak akan begitu saja mematuhi kata-kata Tisela. Dengan langkah mengendap-endap, aku mendekati ruang bernama kamar mandi, membayangkan kelezatan air dalam kolam kecil itu.

Sesampainya di depan pintu kamar mandi, aku terkejut melihat pintunya tertutup rapat. Sebuah kain hitam menyembul di sela-sela pintu, seperti menghimpitnya agar tidak terbuka. Kucoba mendorong pintu namun sia-sia, tenagaku tak cukup kuat jika dibanding dengan pintu kamar mandi yang besar. Bayangan air kolam lezat sirna begitu saja. Rupanya Tisela lebih pintar dari dugaanku. Ah, kenapa Tisela pelit sekali sehingga tidak mau membagi air lezatnya kepadaku?

Dengan langkah lesu aku kembali duduk di samping Tisela yang tertidur pulas. Tepat satu detik setelah duduk, gawai putih di atas almari berbunyi, menandakan panggilan masuk.

“Tisela ada telepon!” seruku.

Tisela bergeming, napasnya teratur naik-turun dengan tenang, tidur yang pulas sekali. Aku tidak tega membangunkannya, tapi gawai itu terus berdering memekakkan telinga.

“Tisela bangun!” seruku lagi, namun Tisela tetap pulas.

Kuputuskan untuk mengguncangkan tubuhnya pelan, berharap perempuan itu membuka mata.

“Sel! Selaa!” seruku sekali lagi bersamaan dengan mengguncang tubuhnya.

Benar saja, aku berhasil dan Tisela terbangun. Mendapati gawainya berdering, ia bergerak cepat meraihnya dan mengangkat telepon masuk.

“Halo, Roma? Iya, iya di rumah, oh, oke, ditunggu.”

 Tisela menutup telepon, singkat sekali, pikirku. Lalu ia bergegas merapikan diri, mengusap habis sisa-sisa wajah mengantuk dan mengganti baju.

“Roma akan datang,” ujar Tisela di depan cermin.

“Menemuiku?” tanyaku yang terduduk penasaran.

“Dia akan membawakan kamar barumu yang besar,” jawabnya.

Lihat selengkapnya