Sepanjang hari bahkan hingga matahari terbenam, tidak ada tanda-tanda akan ada yang membebaskanku dari kamar seperti kurungan. Sekitar empat jam sekali Tisela rutin menjenguk, mengganti air minum dan menyuruhku makan. Tentu saja aku mengabaikannya dan tetap diam di lantai kedua, menyanggah kepala dengan dua tangan.
Kali ini pun Tisela tak ambil pusing, ia tidak peduli aku menyentuh makanan dan minuman yang disuguhkan atau tidak. Ia seperti hanya menunaikan kewajiban untuk mengingatkan, selebihnya terserah padaku. Bahkan rengekanku yang sesekali terlontar meminta dibukakan pintu tak digubrisnya sama sekali. Tisela benar-benar marah.
“Mei belum makan seharian, Sel,” ujar Kuni saat Tisela menjengukku untuk yang ke sekian kali.
“Biarkan saja, dia harus dihukum agar mengerti,” sahut Tisela dengan wajah datar.
Entah bagaimana tapi ini pertama kali aku merasakan ngilu di salah satu organ dalam tubuhku karena diabaikan. Tisela yang tidak pernah semarah ini membuat perasaanku tak nyaman.
“Kau tega sekali, Sel,” kata Kuni, “mungkin Mei mau makan jika dikeluarkan.”
“Biarkan saja dia menginstrospeksi diri.”
Aku pura-pura tidak mendengar, menyipitkan mata seperti mengantuk. Kulihat Tisela mendekati Kuni yang duduk di depan kamar sambil memainkan gawai. Mereka bersandar di tembok, sama-sama menghadap Timur memandang ke arah jendela.
“Sel, Mei bisa jatuh sakit jika dibiarkan tidak makan,” Kuni menatap wajah Tisela dengan tatapan memelas, mengkhawatirkanku.
“Biarkan saja, bahkan mati pun aku tak peduli,” lirih Tisela.
Lagi-lagi aku merasakan ngilu di salah satu organ tubuhku di dalam sana, entah apa. Aku menjadi sedih mengetahui Tisela bahkan tidak peduli jika aku mati. Semarah itukah dia padahal selama ini sikapnya yang paling baik kepadaku.
Kuni yang mendengar jawaban tak terduga itu diam, kembali melihat ke arah gawai. Mereka kembali dalam keheningan dalam beberapa saat. Menyisakan debaran jantungku yang berbunyi lebih keras dan tak beraturan. Apa aku sesedih itu sampai jantungku harus berdegup kencang?
“Dikecewakan oleh satu orang yang kita sayangi akan terasa jauh lebih menyakitkan ketimbang dikecewakan oleh seratus orang yang berhubungan biasa dengan kita,” ujar Kuni membacakan sebuah kalimat dari layar gawai.
Tisela menoleh, mengerutkan kening, “hah?” celetuknya heran.
“Maksudku, Sel, jika kau merasa sangat marah atas suatu kesalahan yang dibuat seseorang, itu berarti kau menyayangi dan peduli padanya. Sama seperti saat ini, kau sangat marah karena Mei berusaha kabur darimu.”
Tisela diam, aku yang mendengar kalimat itu pun tercenung, Tisela menyayangiku?
“Hatimu sakit karena Mei bersalah, terlebih kesalahannya adalah berusaha lari darimu. Kau hanya kecewa pada Mei juga kecewa pada dirimu sendiri. Kenyataan bahwa Mei tidak nyaman berada di sini dan memilih melarikan diri, bukankah menyakitkan?” lanjut Kuni.
Tisela menoleh memandang Kuni dengan wajah sedih, matanya berkaca-kaca sementara Kuni tersenyum memaklumi.
Melihat itu, aku bangkit dari posisiku yang tidak berubah sedikitpun sejak beberapa jam. Aku turun ke lantai satu, menghampiri minuman yang disuguhkan Tisela lalu meminumnya hingga habis. Setelah itu aku beralih ke mangkuk makanan dan memakannya meski lidahku merasa tidak cocok. Perasaanku penuh sesak oleh rasa bersalah dan ingin segera mengakhirinya.
Tisela dan Kuni sontak menoleh begitu melihatku bergerak dari lantai dua. Mata mereka awas melihatku menghabiskan minuman dan melahap makanan. Kuni tersenyum senang, sementara Tisela tetap tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Sepertinya Mei mendengar percakapan kita,” ujar Kuni riang, tangannya menggenggam lengan Tisela seolah ingin memberitahu dengan tegas.
Aku menyelesaikan makananku dengan cepat lalu duduk tepat di depan pintu, menoleh ke arah Tisela dan Kuni.
“Maafkan aku, Sel, aku bersalah dan berjanji tidak akan melakukannya lagi,” kataku sungguh-sungguh.
Kuni tersenyum kecil mendengar ucapanku sementara Tisela masih saja diam.
“Tisela maafkan aku,” lirihku, “aku senang kau menyayangiku, aku sangat senang, karena itu maafkanlah aku. Aku keluar rumah hanya karena ingin melihat suasana di luar, aku bosan di rumah, Sel,” lanjutku berpanjang lebar. Berharap Tisela yang menurut analisis Kuni menyayangiku itu mau memaafkanku.
Selang beberapa detik yang terasa sangat lama, akhirnya kulihat Tisela bergerak mendekat. Ia kemudian berjongkok di depan pintu, persis berhadapan denganku yang masih terduduk. Matanya menatapku lama sebelum kemudian segaris senyum terbit di wajah cantiknya.
“Maafkan aku juga, Mei,” kata Tisela, “aku kurang mengerti keadaanmu, aku paham kau bosan, seharusnya aku memang mengajakmu berjalan-jalan melihat lingkungan luar.”
Aku balas tersenyum, dimengerti seperti itu perasaanku terharu dan sepertinya mataku berkaca-kaca. Sama seperti tatapan sendu Tisela yang ternyata sangat kurindukan. Dengan gerakan pelan, Tisela membukakakn pintu untukku. Bunyi ‘kreeeng’ saat besi-besi bergesekan menjadi sangat khas saat pintu kamar dibuka dan ditutup.
Dengan sangat lega aku melangkah keluar kamar, ini lebih menyenangkan ketimbang saat aku berlari keluar pintu rumah. Tisela menyambutku dengan pelukan dan ciuman bertubi-tubi, memanggil namaku berkali-kali.
“Jangan nakal, lagi, ya, Mei!” katanya tepat di depan wajahku.
“Tentu saja, Sel, maafkan aku,” jawabku dengan sorot mata bersalah.