Kabar kedatangan penghuni baru yang juga akan tinggal di rumah membuat kami heboh. Seharian aku, Tisela, Kuni dan Hilda sibuk membersihkan rumah. Menyapu dan mengepel lantai, menata ulang perabotan, mengelap kaca juga membersihkan sawang sekecil apapun. Pagi tadi Tisela bahkan pergi membeli pengharum ruangan yang bahkan tak terpikirkan olehku.
“Kapan teman kita akan datang?” tanyaku saat Tisela sibuk menyapu.
“Entah,” jawab Tisela pendek.
“Kapan, Sel, kapan? Aku sudah tidak sabar!” desakku.
“Mei, pergi dari sana! Kotor, Mei!” seru Tisela yang justru tidak menggubris pertanyaanku.
“Aku menjagamu dari sudut ini!” kataku bersikukuh duduk tepat di lantai yang akan Tisela bersihkan.
Tisela mendengus kesal, tetap mengabaikanku dan terus menyapu dengan tubuhku di antara sampah-sampah. Sesekali ia mendorongku dengan sapu dan aku bersikukuh tetap mengikuti arahnya menyapu lantai.
“Mei, kau menggangguku menyapu!” Tisela berseru kesal.
“Aku tidak mengganggu, Sel, aku membantu!” jawabku.
Sudah berkali-kali kutegaskan kepada semua orang di rumah ini, bahwa ketika aku berdiri tepat di jalur pembersihan lantai adalah untuk membantu. Mereka tidak tahu hewan kecil apa yang akan muncul dari sela-sela debu dan sampah. Aku berdiri di garda terdepan untuk melindungi siapapun meski mereka bersikukuh mengusirku. Ini demi kebaikan kalian, teguhku dalam hati.
Pun saat Tisela atau siapapun mengerjakan kegiatan bersih-bersih lainnya, aku selalu turut serta. Meski tidak bisa membantu banyak, aku akan melindungi mereka dari makhluk apapun yang akan mengganggu. Selain bersiap siaga menjaga, aku juga sesekali membercandai mereka agar tidak bosan saat membersihkan rumah.
“Mei! Hentikan jangan menggangguku!” kesal Kuni saat aku menggodanya di tengah hawa panas membersihkan sawang menggunakan sapu panjang yang berat.
“Aku tahu kau bosan dan lelah, Kun, mari bermain sebentar!” seruku bersemangat sambil terus merecok di antara langkahnya.
“Mei, aku bisa jatuh!” seru Kuni gelisah.
Reaksinya justru membuatku tertawa geli, lucu sekali penghuni rumah ini. Mereka sering sekali melarangku melakukan berbagai hal bahkan seolah marah. Tapi sebenarnya mereka tidak benar-benar marah dan akan selalu memaafkanku dengan cepat.
Seusai melakukan seluruh pekerjaan, kami berempat beristirahat di dalam persegi gelap karena hawa di sana lebih dingin. Hilda membuatkan kami satu teko penuh es teh segar. Aku heran saat mereka menghabiskan minuman itu dengan lahap. Saat mencicipinya sedikit, aku bahkan hampir memuntahkannya karena rasa yang aneh.
“Air kolam kecil di dalam kamar mandimu bahkan lebih enak,” celetukku kepada Tisela yang menanggapinya dengan tertawa.
Sekitar satu jam setelah kegiatan membersihkan rumah selesai, tamu yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Ia datang bersama Roma membawa keranjang biru muda yang sama seperti saat aku tiba di rumah ini. Kami semua menyambutnya dengan sangat ramah, terutama Tisela yang memenuhi wajah dengan senyuman. Sama seperti saat aku disambut pertama kali di rumah ini.
“Hai! Hai! Selamat datang di rumahku!” sapaku begitu ia mulai duduk santai dengan sikap yang terlihat sok elegan.
Ia laki-laki, berperawakan tinggi, besar, dan berisi bahkan cenderung gemuk. Wajahnya menakutkan dengan mata bulat dan hidung yang cenderung pesek. Retina matanya berwarna hitam dengan lingkaran kuning terang. Laki-laki itu berkulit sedikit gelap, pakaiannya begitu mewah berwarna abu-abu. Menjuntai panjang sampai menyentuh lantai, terlihat halus dan lembut.
Ia hanya diam menatap tajam ke arah semua orang di rumah, tidak menjawab pertanyaan apapun. Saat Tisela hendak bersalaman, ia bahkan menepisnya dan berjalan menjauh seolah kami akan menyebarkan virus. Gayanya yang sombong itu membuatku kesal setengah mati.
“Hai! Jangan sok begitu, dong! Kami tidak akan memangsamu!” kataku dengan nada tinggi tepat di depan wajahnya.
“Mei, jangan seperti itu kepada teman barumu!” Tisela menegurku, menarik lenganku menjauh.
“Tidak apa-apa,” kata Roma, “namanya Moza, dia memang sangat pemalu,” Roma berusaha menjelaskan alasan laki-laki bernama Moza itu bertingkah aneh.
“Tak perlu malu, Moz, mari berkenalan!” ajakku lagi dengan penuh semangat.
Moza mundur selangkah, Tisela kembali menegur dan menarik lenganku agar tidak bertindak lebih jauh.
“Ah, tidak seru!” keluhku kemudian memilih duduk di sebelah Tisela.
“Sabar, Mei, jangan tergesa-gesa berkenalan,” Kuni mengingatkan.