Angin malam berhembus menerobos celah ventilasi lantai bawah, menusuk tulang belulang. Aku terbangun kedinginan, beranjak dari pojok kamar ke atas ranjang, berpindah di sebelah Tisela yang tertidur pulas. Kemarin setelah menghukumku, Tisela meminta maaf dan mengajakku bermain lempar-tangkap. Malam ini pun ia mengizinkanku tidur dengannya seperti biasa.
Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, malam ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bayangan tentang Moza yang merebut kamarku terus menghantui seperti mimpi buruk. Sudut hatiku masih saja tidak rela jika kamar milikku itu direbut seenaknya.
“Kau, kan, jarang sekali menempati kamarmu, Mei,” kata Tisela saat kami baru saja berbaikan dan dia menanyakan kenapa aku bersikap jahat kepada Moza.
“Kau juga tidak menyukai kamarmu, kan, jadi apa masalahnya jika kamar itu ditempati orang lain yang menyukainya,” lanjut Tisela.
Saat itu aku hanya bisa diam karena memang benar apa yang ia katakan. Jadi sebenarnya, kenapa aku merasa sangat marah?
Pagi menjelang, seperti biasa Tisela menyiapkan makanan untukku, kali ini ia juga menyiapkan makan untuk Moza. Tisela sangat baik, ia selalu tersenyum dan mengusap kepalaku lembut setiap kali melintas. Sayangnya, kali ini ia juga mengusap kepala Moza dengan lembut, membuatku kesal.
“Aku harus pergi sebentar, Mei, kau baik-baik di rumah dengan Moza, ya,” kata Tisela sambil berdiri memperhatikan wajahnya di depan cermin.
Aku tersenyum licik, ini kesempatan bagus untuk membuat perhitungan dengan laki-laki menyebalkan itu.
“Pergi ke mana?” tanyaku berbasa-basi.
“Kencan, Mei,” kata Tiselaa tersenyum.
Aku melihat pipinya sedikit merona merah saat mengatakan kata kencan. Aku menggeleng, seberapa hebat sesuatu yang ia maksud dengan kencan itu?
Lima menit kemudian, pintu atas diketuk seseorang. Tisela dengan cepat meraih tas kecil dan gawainya, melewati persegi gelap lalu membuka pintu. Aku mengikutinya, melihat seorang laki-laki jangkung berkulit sawo matang berdiri di depan pintu. Mereka berdua membicarakan sesuatu, sebelum kemudian pergi.
Klek.
Pintu ditutup. Secepat kilat aku memalingkan wajah ke arah kamarku di dekat pintu, melihat Moza sedang tertidur pulas. Pelan, aku berusaha membuka pintu kamar meski dengan bersusah payah. Entah bagaimana Tisela menutup pintu kamar ini sehingga sangat sulit dibuka. Lima menit, tapi aku tidak berhasil membukanya sama sekali.
“Apa yang kau lakukan?” suara Moza mengagetkanku.
Rupanya suara berisik kunci besi yang saling bertaut membuat Moza terbangun. Ia melihatku dengan sinis dari celah-celah rangkaian besi yang menjadi tembok kamar. Tubuhnya yang besar sama sekali tidak bergerak, berbaring dengan santai.
“Aku akan mengeluarkanmu dari kamarku!” aku menjawab dengan nada tinggi.
“Kau tidak akan bisa melakukannya,” jawab Moza santai.
Aku bersikukuh terus-terusan berusaha membuka pintu kamar meski tidak ada tanda-tanda sedikitpun akan terbuka. Moza tetap diam memperhatikanku, bahasa tubuhnya yang santai seolah sama sekali tidak terusik membuatku semakin kesal.
“Keluar kau! keluar! keluar! keluar!” teriakku akhirnya, setelah gagal membuka pintu kamar.
Aku terduduk tepat di depan pintu dengan napas tidak beraturan, aku kelelahan. Apa yang harus kulakukan sekarang?
“Sudahlah,” kata Moza, “kenapa kau bersikukuh membuka pintunya?”
“Kamar ini Roma dan Tisela berikan kepadaku, jadi kau harus keluar!” jawabku ketus.