Sore sudah berada di ujung waktunya ketika Tisela kembali ke rumah, diantar teman lelakinya yang tidak kukenal. Perempuan itu terlihat lelah, matanya sayu dan wajahnya kuyu, apa kencan sebegitu melelahkannya?
Begitu menginjakkan kaki di dalam rumah, seperti biasa Tisela mencariku, mirip kekasih yang sangat rindu. Wajahnya khawatir karena seharian tidak ada siapapun selain aku dan Moza. Saat melihatku, Tisela memeluk dan menanyaiku berbagai hal. Apakah aku makan? Apakah aku bersikap baik? Apakah aku kesepian? Apakah aku menunggunya?
“Tentu saja aku menunggumu,” kataku saat salah satu pertanyaan wajib itu terlontar.
“Kau memang sangat manis,” ujar Tisela, memelukku lagi.
Menatap wajahnya, membuatku tidak percaya bahwa selama ini kami berbeda. Aku merasa ia menyayangiku dengan tulus, bersikap baik tanpa tujuan lain, dan selalu berusaha melindungiku. Mana mungkin kami berbeda sementara Tisela sebaik ini?
“Sel, ada yang ingin aku tanyakan,” kataku dengan nada sendu.
Tisela menatapku heran, “kenapa, Mei?”
“Ehhmmmm ....”
“Kenapa, Mei?” Tisela bertanya khawatir, “Hei, kenapa?”
“Apakah benar kau seorang manusia dan aku hanya seekor kucing?”
Pertanyaan itu akhirnya terlontar, bibirku bergetar saat mengatakannya, takut sekali Tisela akan tesinggung. Jika pertanyaanku salah, Tisela mungkin marah karena asumsiku yang sangat aneh. Akan tetapi jika pertanyaanku benar, apa yang akan Tisela katakan?
“Mei?” Tisela keheranan.
“Apakah benar kau seorang manusia dan aku hanya seekor kucing?” aku mengulang pertanyaanku dengan lebih jelas.
“Kau lapar?” tanya Tisela.
“Aku tidak lapar, Sel, aku bertanya tentang perbedaan kita!” jawabku mulai kesal, Tisela mengabaikan pertanyaanku.
“Sebentar, kusiapkan makan,” katanya.
Aku menggeram, benar-benar kesal. Tisela melepasku dari pelukannya dan berjalan menuju kamar. Ia sempat terkejut melihat tempat makan di dalam kamar berantakan, mengiranya adalah perbuatan Moza. Sebelum menyiapkan makan untukku, Tisela sibuk membereskan kekacauan di dalam kamar.
“Sel, jawab pertanyaanku!” seruku sambil menarik tangan Tisela agar mengabaikan kekacauan itu dan menjawabku.
“Sebentar, Mei! Aku bereskan ini dulu!” Tisela berseru, membuatku duduk terdiam.
Dengan cekatan Tisela membereskan semuanya, mengisi ulang makanan dan minuman, membersihkan kamar. Beruntung sekali Moza tidak kena marah, seandainya Tisela tahu aku yang melakukannya, ia akan marah besar. Tapi, kenapa Moza tidak mengadu?
“Sel, aku menunggu jawabanmu sejak tadi,” tegurku saat ia telah menyelesaikan misinya membereskan kekacauan di dalam kamar.
“Sabar, Mei, sebentar,” jawab Tisela. Setelah selesai ia segera menyiapkan tempat makanku, menuang makanan dan minuman dalam porsi besar.
“Aku tahu kau sangat lapar karena seharian ini aku pergi dan kebetulan tak ada orang di rumah,” ujar Tisela sembari menyodorkan makanan dan minuman padaku.