Langit sudah sangat gelap, hewan-hewan malam mulai berkeliaran mencari makan. Angin semakin dingin, membuatku merapatkan duduk, bersikukuh tidak akan masuk ke dalam rumah. Perlahan mataku yang sejak tadi menahan kantuk, mulai terpejam di antara angin dingin.
“Apa yang kau lakukan?” suara Moza.
Aku menoleh, kantukku seketika menghilang. Laki-laki berbadan besar itu melihatku dari balkon lalu tanpa meminta izin melompat naik. Jalannya tenang menuju tempatku, lalu duduk tepat di sebelahku.
“Masih memikirkan apakah aku berbohong atau tidak?” tanya Moza, bibirnya menggoreskan senyum kecil yang mengejek.
Aku menarik napas, “setelah berpikir panjang, aku percaya kau tidak berbohong,” jawabku pelan.
“Baguslah,” jawab Moza, kemudian diam.
Sepi menyelinap di antara kami berdua, tidak ada yang melanjutkan pembicaraan. Masing-masing kami melihat ke luar, tersaji pemandangan halaman belakang yang gelap.
“Bagaimana kau bisa keluar kamar?” tanyaku akhirnya, setelah cukup lama sepi bertahta di antara kami.
“Maksudmu kandang?” Moza balik bertanya.
“Hhh, baiklah, kandang,” jawabku sambil menghela napas.
Mungkin mulai sekarang aku harus membiasakan diri untuk menggunakan kosa kata yang dikatakan Moza.
“Aku hanya diam dan bersikap manis, lalu Tisela membukakan pintu kandang begitu saja,” jawabnya.
Mendengar jawaban itu aku teringat saat pertama kali Tisela memasukkanku di dalam sana, lama sekali ia tidak membukakan pintu untukku. Saat itu aku memang terus berteriak memintanya membuka pintu. Berbeda dengan Moza yang justru diam, bersikap manis, lalu dengan sukarela Tisela membuka pintunya.
“Aku lapar, Mei,” kata Moza tiba-tiba.
Aku menatapnya heran, memiringkan kepala, “bagaimana kau akan makan?”
Moza tertawa mendengar pertanyaanku, “tentu saja masuk ke rumah, meminta Tisela menyiapkan makan, ayo,” ajak Moza sambil beranjak dari duduk.
“Bukankah kita berbeda dengan Tisela?” tanyaku semakin heran.
Lagi-lagi Moza tertawa, “berbeda bukan berarti tidak bisa bersama,” kata Moza lalu kembali duduk.
Aku menatapnya keheranan, bagaimana dua hal berbeda bisa bersatu?
“Aku akan menceritakan sesuatu yang akan membuatmu mengerti,” Moza berkata pelan, matanya menerawang jauh menuju masa lalu.
“Sudah cukup lama aku hidup di dunia ini, berkenalan dengan banyak orang dan berhadapan dengan berbagai situasi,” lanjut Moza, menceritakan banyak hal tentang kucing dan manusia.
Sejak dunia tercipta ribuan tahun lalu, manusia sudah hidup berdampingan dengan kucing. Dahulu kala, kucing hanyalah hewan liar yang berkeliling di antara kehidupan manusia, sama seperti nyamuk, cicak, lalat, semut, burung, dan hewan lainnya. Hanya saja, kucing tidak menimbulkan banyak kerugian bagi manusia. Mereka hanya lewat, memakan sisa ikan di pasar, memburu tikus, cicak, dan hewan kecil lainnya.
Seiring berjalannya waktu, manusia merasa kucing bisa dimanfaatkan untuk memburu tikus-tikus yang merugikan di rumah mereka. Dari sana mulailah manusia membawa kucing ke dalam rumah, memelihara dan memberinya makan. Dimulai dari satu ekor kucing dalam satu rumah, bertambah menjadi dua sampai tiga ekor.
Di luar dugaan, ternyata kucing belajar lebih banyak dan lebih cepat dari hewan lainnya. Ia mulai mengerti emosi manusia, mulai bisa merasakan kasih sayang manusia dan membalas kasih sayang itu. Bahkan beberapa kucing mulai merasa dirinya adalah bagian dari keluarga manusia yang memelihara. Memanggil ibu manusia dengan sebutan ‘ibu’ dan memanggil ayah manusia dengan ‘ayah.’ Satu per satu kucing mulai melupakan hakikatnya sebagai hewan pemangsa yang menduduki peringkat kedua setelah pemangsa udara pada rantai makanan.
“Apakah aku termasuk kucing-kucing yang melupakan hakikatnya?” tanyaku.