Tidak banyak yang berubah selain sikapku yang sedikit canggung setiap berhadapan dengan Tisela. Ia sempat kebingungan karena aku mulai tidak banyak bicara dan hanya makan sedikit. Bahkan saat Tisela mengajakku bermain dengan wajah ceria, aku tidak menanggapinya. Saat ini, duduk, berbaring dan melamun menjadi jauh lebih baik ketimbang melihat wajah Tisela, terus mengingat bahwa kami berbeda.
“Berapa hari kau akan bertahan seperti itu?”
Pertanyaan Moza membuatku mengalihkan pandangan dari jendela yang menghadap ke jalan. Ia sudah duduk di dekatku, tepatnya di bawahku, di bawah jendela. Belakangan aku memang suka sekali duduk di teras jendela, melihat besi-besi berlalu lalang di luar sana.
“Aku masih harus beradaptasi dengan keadaan ini,” jawabku setelah kembali melihat keluar.
“Kasihan Tisela, dia mengkhawatirkanmu,” kata Moza dengan suara beratnya yang khas.
Aku bergeming, memikirkan wajah Tisela yang khawatir dan sedih membuatku tidak tega. Sebelum pikiran untuk memaafkannya melintas, hatiku sudah berkata dengan tegas bahwa kami berbeda dan sudah pasti akan berpisah. Saat perpisahan itu terjadi, aku mungkin baru akan menyesal karena membiarkan kami saling menyayangi.
“Kau tidak tahu bagaimana khawatirnya Tisela, dia bingung, Mei, tidak tahu kenapa kau bersikap dingin akhir-akhir ini,” Moza melanjutkan nasihatnya. “Jika kau menyayangi Tisela, bicaralah padanya dan bersikaplah yang baik.”
“Aku begini karena aku menyayanginya!” seruku tak tahan, menoleh ke arah Moza yang masih duduk dengan tenang.
“Mengabaikan, diam membisu, tidak peduli, acuh, itu sikapmu yang kau sebut menyayangi?” tanya Moza dengan wajahnya yang menyebalkan.
Aku hampir saja meraup wajahnya dengan cakar, jika tidak mengingat Moza sebagai satu-satunya temanku satu spesies di sini. Bagaimana dia bisa menghakimi sikapku seenaknya begitu?
“Jangan ikut campur,” jawabku ketus.
“Mei, kita memang berbeda tapi itu bukan berarti kita harus saling menjauh dan mengabaikan,” ujar Moza, “perihal perpisahan yang kau khawatirkan itu, tidak semua cerita kucing dan manusia berakhir menyedihkan,” lanjutnya.
“Aku tahu, Moz, tanpa mendengar ceritamu pun, kucing dan manusia tetap akan berpisah pada saatnya!” ketusku tidak mau kalah.
“Jika seperti itu, sesama manusia atau sesama kucing juga akan berpisah pada waktunya. Tidak ada yang abadi di dunia ini, Mei, mengertilah. Justru karena ketidakabadian itu, sudah seharusnya kita berusaha semaksimal mungkin di setiap tahapnya. Sebaik mungkin, membangun hubungan seindah mungkin.”
Kata-kata Moza membuatku tercenung, membuatku terpaksa memikirkan lagi sikap yang kupilih saat ini. Wajah Tisela yang tersenyum melintas, usapan lembut tangannya di kepalaku membayang nyata. Bukankah selama ini ia juga menyadari bahwa kami berbeda? Tapi sejak awal, Tisela sudah bersikap sangat baik tanpa mempedulikan perbedaan itu.
“Aku hanya mengingatkan, jangan salahkan aku jika kelak kau menyesali sikapmu, Mei,” Moza beranjak bangkit, berbalik meninggalkanku.
Dengan cepat aku turun dari jendela, berlari kecil menghampiri Moza yang berjalan menuju persegi gelap.
“Ke mana kau akan pergi?” tanyaku, berjalan di belakangnya.
“Menemani Tisela,” jawab Moza dingin.
“Aku ikut!” cetusku.
Moza menoleh, menatapku aneh, “untuk apa?”
“Mmmm ... kurasa kau benar tentang perbedaan dan sikapku yang salah,” jawabku ragu-ragu, terus berjalan mengikuti Mei masuk ke dalam persegi gelap.
“Bagus,” sahut Moza, “kau sadar lebih cepat dari perkiraannku,” lanjutnya.
Aku tersenyum kecil, tidak mengerti apakah Moza sedang mengejek atau memujiku. Kami beriringan melewati persegi gelap, melangkah satu per satu menimbulkan suara ‘duk-duk’ yang khas. Dari dalam persegi panjang, terlihat Tisela berbaring fokus melihat layar gawai.
“Tisela,” sapa Moza, lalu dengan santai duduk di sebelahnya.
“Hai, Moz, dari mana saja?” Tisela mengalihkan pandangan dari gawai dan menyambut Moza, mengusap punggungnya lembut.
Rupanya selama aku jauh dari Tisela, Moza sudah semakin akrab dengannya. Diam-diam aku merasa tidak suka, namun aku tahu ini tidak lepas dari kesalahanku sendiri.
“Loh, Mei?” kali ini Tisela melihatku yang berdiri tidak jauh darinya, “sudah tidak marah lagi?” tanya Tisela dengan senyum mengembang.