Matahari baru saja terbenam, kegelapan mulai merambah rumah melalui celah ventilasi. Tak ada orang, tak ada yang menyalakan lampu, semuanya sedang pergi entah ke mana. Tisela terus tidur dan tidak bangun, kurasa ia sangat kelelahan. Perempuan itu bahkan lupa makan sekaligus lupa memberiku makan.
“Tisela, bangunlah, sudah lama sekali kau tidur!”
Kalimatku yang ke sekian kali, berusaha membangunkan Tisela dengan menggoyangkan tubuhnya, mengusap pipi, dan mengigit jempol kakinya. Tapi Tisela tetap pulas, hanya sesekali terganggu, menyuruhku diam dan jangan mengganggu.
“Tisela, bangun, kami kelaparan!” protesku lagi tanpa kenal menyerah.
“Sebentar, sedikit lagi ...” sahut Tisela dengan mata masih terpejam.
Aku menurutinya, menunggunya sebentar lagi untuk kembali mengganggunya agar terbangun. Tisela pulang bekerja sekitar pukul enam, setengah jam kemudian sudah tertidur sampai matahari terbenam. Sudah lebih dari sebelas jam, kurasa ia benar-benar kelelahan.
“Tisela, bangun-bangun!” seruku setengah jam kemudian, rumah sudah sangat gelap.
“Mei,” Tisela membuka mata perlahan, meregangkan tubuh, mengambil gawai, “sudah malam, Mei,” selorohnya pelan.
“Iya, sudah malam, kau tidur lama sekai,” kataku.
"Kalian belum makan, ya?” Tisela mengusap kepalaku sambil menengok kanan-kiri mencari Moza, tidak ada.“
"Lapar?” tanya Tisela.
“Tentu saja kami sangat lapar!” jawabku dengan nada protes, “tidurmu lama sekali, sampai-sampai melupakan kami.
Tisela tersenyum mendengarku mulai berbicara panjang, “sebentar, ya, aku siapkan dulu,” ucapnya lalu turun dari ranjang.
Lampu rumah dinyalakan, kemudian Tisela melintasi persegi gelap menuju tempat persediaan makan kami berada. Ia menyiapkan dua makanan porsi besar lengkap dengan minumannya. Moza dengan setia duduk di depan tempat makan, kentara sekali ia sangat kelaparan. Aku duduk di samping Tisela. Ketimbang lapar, aku lebih mengkhawatirkan wajahnya yang masih saja lelah setelah melewati tidur panjang.
“Maafkan aku, Mei, Moza, aku belum terbiasa dengan pekerjaan tengah malamku ini,” ucap Tisela seusai menyiapkan makanan kami.
Moza mengangguk memaklumi sambil terus memasukkan makanan ke mulutnya. Begitu pula denganku, rasa lapar ini benar-benar sudah tidak tertahankan.
“Apa kau akan pergi bekerja lagi malam ini?” tanyaku di sela-sela mengunyah.
“Aku bekerja setiap hari, libur di akhir pekan,” jawab Tisela.
“Apa kau tidak lelah?”
“Aku lelah sekali!”
“Apa yang kau kerjakan di sana?”
“Memasak, aku bekerja di restoran yang buka 24 jam, shift malam.”
Aku mengangguk, melupakan makananku yang masih separuh, “berhenti saja dan bermain denganku seperti biasa, Sel.”
“Aku harap aku tidak perlu bekerja untuk mencicil studiku di masa depan,” sahut Tisela, “tapi itu mustahil.”
Aku memiringkan kepala, tidak mengerti kenapa manusia tetap melakukan hal-hal yang bahkan tidak mereka sukai. Moza dengan pemikirannya yang dewasa saja hanya akan melakukan apa yang ia kehendaki. Begitu juga aku, untuk apa melakukan hal-hal yang tidak kuinginkan?