Akhir pekan, waktu yang sudah dijanjikan Tisela tiba. Hari ini adalah hari terakhir Tisela bekerja untuk kemudian libur dua hari. Pukul setengah enam pagi aku dan Moza sudah menunggu di depan pintu, berniat menyambut kedatangannya. Tepat pukul enam, pintu depan dibuka, Tisela muncul dengan wajah lelah, seperti biasa.
“Selamat berakhir pekaan!” sambutku begitu Tisela melangkah masuk.
“Hai! Mei, Moza!” serunya terkejut.
Aku mengelilingi kaki Tisela, sesekali mengusapkan punggung kananku, membuat langkahnya terhenti. Moza berdiri di depan Tisela, bergaya mencegatnya dengan tatapan menagih janji. Wajah Tisela yang lelah dengan cepat berubah cerah, senyumnya mengembang lebar.
“Kalian sedang apa?” tanya Tisela sambil tertawa kecil, “menagih janji, nih, ceritanya?”
“Tentu saja kami menagih janji!” jawabku bersemangat.
Tisela berjongkok, tangan kanannya yang memancarkan bau aneh mengusap kepalaku lembut. “Sebentar, ya, aku bau bumbu dapur, biarkan aku mandi dulu.”
“Tidak usah mandi, Seel!” rengekku, menyondongkan kepala agar lebih dalam ke telapak tangannya.
“Bau doong!” sergah Moza.
Melihat Moza merespon, Tisela menoleh dan tersenyum, bergantian mengusap kepalanya. Moza yang mencium bau bumu, melangkah mundur, menghindar.
“Aku bau, kan, Moz?” Tisela tertawa melihat reaksi Moza. “Ya, sudah, aku mandi dulu,” Tisela berdiri, menuju persegi gelap.
“Berjemur, yuk, Sel!”
Kuni tiba-tiba muncul dari dalam kamar, sudah rapi dengan celana olahraga hitam bergaris merah. Ia menghampiri Tisela, mengajaknya sekali lagi.
“Tapi aku baru pulang kerja,” sahut Tisela yang suda berdiri persis di bibir persegi panjang.
“Capek?” tanya Kuni.
“Bau bumbu.”
“Ah, tidak masalah! Berjemur juga nantinya bau keringat!”
“Tapi-“
“Mandinya nanti saja, sekalian kotor,” tegas Kuni, “ajak Mei dan Moza juga.”
“Benar, Sel! Ayo-ayo-ayo!” aku berlari ke arahnya, membela argumen Kuni, “nanti saja mandinya!”
Tisela tampak berpikir sebentar sebelum kemudian mengangguk setuju. Aku melonjak kegirangan, memeluk Tisela dan Kuni bergantian. Sementara Moza, wajahnya menunjukkan bahwa ia bimbang karena sangat tidak menyukai bau bumbu dapur yang melekat pada Tisela
“Yuk!” ajak Tisela, “sebentar aku mengganti celana,” lanjutnya.
Tisela masuk ke dalam persegi gelap, tidak lama, kemudian ia muncul dengan penampilan lebih segar. Tisela mengganti celana jeansnya dengan celana olahraga dan mengganti kemeja dengan kaos merah muda longgar. Sepertinya, ia juga mencuci wajahnya sehingga tidak lagi terlihat sisa-sisa lelahnya bekerja.
“Berangkat!” seruku tidak sabar, mengira seluruh persiapan telah selesai.
Namun sepertinya aku salah, Tisela tidak segera membuka pintu. Ia justru menuju kotak merah muda di dekat kandang, membukanya dan mencari sesuatu. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua buah tali panjang berwarna oranye dan biru tua.
Tali sepanjang kurang lebih satu setengah meter itu, memiliki dua lingkaran besar dan kecil di ujungya. Tali-tali itu memiliki besi putih di beberapa sisinya, seperti sendi. Tali berwarna biru tua terlihat sedikit lebih besar ketimbang tali oranye.
“Pasangkan dulu tali kekang ini kepada mereka,” ucap Tisela, menyerahkan tali biru tua kepada Kuni.
“Ini untuk siapa?” tanya Kuni.
“Biru tua untuk Moza, yang oranye untuk Mei, “jawab Tisela, “aku saja yang memasangkan tali kekang Mei, dia, meski kecil tapi suka memberontak.”
Aku mengerutkan kening tak suka, kapan aku memberontak?
Tisela dan Kuni segera mendekati kami dengan tali kekang di tangan masing-masing. Aku diam saja saat Tisela menghampiriku, ingin membuktikan bahwa aku tidak suka memberontak. Namun saat Tisela melingkarkan tali oranye itu di leherku, aku merasa sangat tidak nyaman. Spontan, aku hendak berlari menjauh tapi Tisela cepat tanggap, mendekap tubuhku.