Hari-hari tanpa keberadaan Tisela di rumah semakin membosankan. Semenjak bekerja, perempuan yang lingkaran hitam di matanya semakin menebal itu, hanya pulang untuk tidur. Tisela jarang sekali mengajakku bermain, bahkan beberapa kali telat memberi makan. Kecuali di malam dan pagi hari, bertepatan dengan jadwal berangkat dan pulang bekerja. Sementara Kuni serta para penghuni lain, seperti biasa lebih asyik menatap layar gawai berjam-jam.
Beruntung, ada Moza yang mau meladeni antusias bermainku meski dengan wajah ogah-ogahan. Laki-laki itu pemalas sekali, tubuhnya terlalu gempal dengan bulu yang sangat lebat. Aku mengerti, mungkin saja Moza merasa kesusahan membawa lemak dalam tubuhnya sendiri. Seharusnya Moza diet, alih-alih hanya rebahan dan menguap sepanjang hari.
Siklus baru ini membuat semangat hidupku menurun drastis, makanan tak lagi terasa enak, bermain tak lagi semenyenangkan dulu. Hanya satu hal yang kusukai dari hidup baru semenjak Tisela pergi bekerja ini, akhir pekan. Setiap akhir pekan, Tisela tidak pernah absen membawaku bermain di luar rumah, mengunjungi tempat-tempat baru.
“Meei!”
Kutolehkan kepala cepat, suara Tisela yang muncul tiba-tiba dari balik pintu membuyarkan pikiran. Tangan kanan Tisela menenteng plastik putih yang tidak terlalu besar, menguar aroma lezat dari arah sana.
“Apa itu, Sel?” mataku membulat, produksi air liurku meningkat dua kali lipat. “Aku mau, dong, Seel!” segera kudekati Tisela, merayunya dengan sentuhan-sentuhan lembut .
“Ih, sebentar, Mei! Kebagian, kok, tenang, sabar,” Tisela berusaha menyingkirkanku dengan satu kakinya agar lebih leluasa melangkah. Aku tidak peduli jika sikapku dianggap mengganggu, aroma lezat itu sungguh menggoda.
“Mau, mauu!” rengekku dengan tatapan memelas.
“Iya, Mei, sebentar,” Tisela terus berjalan, mendekat ke arah kamar Kuni.
Di dalam kamar, Kuni sedang tiduran di atas ranjang sementara matanya fokus menatap gawai. Di sebelah Kuni, Hilda juga berbaring dengan sorot mata tak kalah fokus. Lubang telinga dua perempuan itu tertutup sempurna oleh headset berkabel hitam.
“Kuni, Hilda, udah makan?” Tisela bertanya dari ambang pintu, menenteng plastik putih yang berisik.
Tidak ada jawaban, aku hampir tertawa melihat Tisela tak dihiraukan padahal jelas niatnya baik. “Sudahlah, Sel, berikan padaku saja!” ucapku penuh percaya diri, “aku tidak pernah sekali pun mengabaikanmu, loh.”
“Sebentar, Mei, ya ampun!” geram Tisela mendengarku terus berceloteh seraya memutari kedua kakinya.
“Kun, Hil!” kali ini Tisela meninggikan nada bicara dan mengeraskan suara, meminta jawaban.
Dua perempuan itu segera menoleh menyadari panggilan Tisela. Kuni buru-buru melepaskan sumpalan hedaset dari telinganya, beranjak duduk dengan malas. Sementara Hilda hanya menoleh sebentar, sebelum kemudian kembali fokus kepada layar gawai.
“Ada apa, Sel?” Kuni mengerutkan kening, rupanya ia tidak benar-benar menangkap kalimat Tisela tadi.
“Aku bawa makanan, nih. Sarapan, yuk!”
Mendengar kata “makanan” ditambah ajakan sarapan dari Tisela, sekonyong-konyong Kuni meletakkan begitu saja gawainya di atas ranjang. Hilda yang melihat reaksi Kuni, segera melepas headset, menanyakan apa yang terjadi. Tentu saja saat mendengar ajakan yang sama dari Tisela, perempuan bertubuh gempal itu pun beranjak duduk.
Aku menyebik melihat respon dua teman Tisela itu. Seandainya bukan tentang makanan, mereka pasti hanya akan diam tanpa respon sama sekali. Yah, bagaimana lagi? Urusan perut, siapa yang tidak siap siaga? Bahkan aku pun sebagai kucing bermartabat juga melakukannya.
“Yuk! Yuk!” Tisela berjalan agak menjauh dari pintu kamar, menuju lorong antara kamar atas dan kamarku. Cekatan. dikeluarkannya tiga buah bungkusan dari dalam plastik putih. Di antara ketiganya, bungkusan berukuran sedang lah yang menguarkan aroma lezat.
“Aku mauu!” seruku tak mau kalah.
“Mei! Jangan! Sebentar aku ambilkan!” Tisela, Kuni dan Hilda kelabakan saat aku mendekat dan berusaha membantu. Entah apa yang mereka khawatirkan padahal aku tidak berniat menghabiskan makanan itu sendiri.
Tangan Tisela cekatan mengambil bungkusan-bungkusan itu dari hadapanku, membukanya sambil berdiri. Sebelum kembali meletakkan bungkusan di lantai, Kuni menyeretku agak menjauh. Entah apa yang ditakutkan para manusia itu, jelas-jelas aku bukan kucing rakus. Aku hanya ingin membantu dan ikut makan bersama, apa salahnya?
“Ke mana Moza?” Tisela melirikku sambil membentangkan tiga bungkusan menjadi satu deret panjang.
“Di bawah, mungkin,” aku mengedikkan bahu, tidak peduli. Terpenting sekarang, aku mendapat izin makan bersama-sama.
“Moza!” panggil Tisela, tidak jelas ditujukan pada arah angin yang mana.
“Moza! Makan, puss! Puss! Mozaa!” kali ini Hilda ikut berseru memanggil.
Tak lama kemudian, Moza muncul dari dalam persegi gelap dengan bulu abu-abu panjangnya. Laki-laki itu mengerutkan kening heran, aku tahu ia tidak familiar dengan suara Hilda.
“Hei! Ayo makan bersama!” sambutku yang masih ditahan Kuni agar tidak bergerak ke mana-mana.
“Makan apa?” tanya Moza sambil terus melangkah pelan, mendekat.
“Tisela bawa oleh-oleh dari tempat kerja, sepertinya sangat lezat!”
Moza terdiam, sesampainya di dekat kami, ia melongok ke arah makanan. Namun, ekspresi Moza sama sekali tak terduga. Ia membuat gerakan seperti memuntahkan sesuatu, lalu bergerak menjauh dengan cepat.
Melihat tingkah Moza, Tisela, Hilda, dan Kuni tertawa. Sementara itu, aku hanya diam memerhatikan, entah bagian mana yang mereka anggap lucu. Mungkinkah berpura-pura memuntahkan sesuatu itu lucu?
“Moza lucu sekali!” komentar Tisela di sela tawanya, “seharusnya tadi kita video dia, masuk Instagram!”