Aku tidak yakin, sudah berapa pekan berlalu sejak Tisela rutin bekerja. Semakin hari kami semakin jarang bertemu. Tisela bahkan sering kali lupa menyediakan makanan untuk aku dan Moza. Alhasil, kami menjadi sering terlambat makan atau jika tidak, kami harus makan makanan tidak segar yang tersisa sejak hari kemarin.
Seperti biasa setiap akhir pekan, aku selalu menunggu Tisela di depan pintu. Begitu pula hari ini, yang entah sudah akhir pekan ke berapa. Terpenting, Tisela tidak pernah mengingkari janjinya untuk mengajakku bermain keluar rumah. Akhir pekan lalu, perempuan itu mengajakku ke sebuah taman bermain yang dihuni oleh banyak sekali manusia ramah. Hampir semua orang di tempat itu terenyum dan menyapa, bahkan mengajakku bermain.
“Namanya Meisaroh.”
Begitu kata Tisela saat memperkenalkanku pada teman-temannya akhir pekan lalu.
“Meisaroh?” seseorang mengulangi kalimat Tisela dengan kening berkerut seolah nama itu tak lazim disematkan kepadaku.
“Hira Sezha Meisaroh,” sahut Tisela, menyebut nama lengkapku.
“Lucu juga, namanya Meisaroh!” celetuk seseorang yang lain kemudian tertawa kecil.
“Panggil Mei saja, dia sudah terbiasa dengan namanya, jadi sudah bisa dipanggil,” jelas Tisela.
Aku yang duduk diam di atas meja dengan tali kekang berwarna oranye melilit tubuh, memilih untuk diam. Kuedarkan pandangan mengelilingi ruang terbuka berukuran cukup luas itu. Meja dan kursi berjejer rapi, satu meja dihadapi oleh empat hingga delapan kursi, bervariasi. Orang-orang duduk di sana, menghadap secangkir minuman hitam dan piring makanan ringan. Ada juga yang membuka laptop, membaca buku, atau sekedar mengobrol, seperti yang dilakukan Tisela saat ini.
“Hai, Sel!”
Aku menoleh cepat saat sebuah suara keras memanggil Tisela. Seorang laki-laki bertubuh tambun berjalan mendekat. Tangannya melambai kepada Tisela dan wajahnya berseri dengan senyum lebar yang menunjukkan deretan gigi putih.
“Sini! Ini aku bawa Mei!” Tisela menyahuti dengan semangat, senyumnya juga mengembang sempurna.
Begitu sampai di dekat kami, laki-laki itu tanpa izin mengusap kepala dan daguku lembut. Senyumnya masih terkembang, sorot matanya bersinar seolah melihat bongkahan permata di atas tubuhku. Apa dia menyukaiku?
“Lucu sekali!” komentar laki-laki itu, “cantik!” tambahnya.
Aku tidak pernah menyukai orang asing, tapi entah kenapa cara bicara dan bahasa tubuh laki-laki itu terasa familiar. Tidak ada perasaan jengkel yang biasa muncul setiap kali aku berinteraksi dengan orang asing.
“Aku ajak dia main, ya, Sel?” tanyanya sejurus kemudian.
Tisela mengerutkan kening, “main apa? Di mana?” tanyanya protektif.
“Yah, main biasa,” laki-laki itu mengedikkan bahu lalu melempar pandangannya ke arah Timur. “Di taman situ, tuh.”
Untuk beberapa saat lamanya, Tisela tidak menjawab. Wajah perempuan itu seolah sedang menimbang sesuatu. Kurasa, ia sedang berpikir apakah akan mengizinkan pria itu membawaku atau tidak. Melihat wajah Tisela, diam-diam dalam hati aku berdoa semoga ia tidak mengizinkan. Walaupun terasa familiar, tetap saja laki-laki itu adalah orang asing.
“Bawa saja,” jawab Tisela setelah diam sekitar satu menit.
Aku terkesiap mendengar jawaban itu, tidak menyangka Tisela akan dengan mudahnya menyerahkanku kepada orang asing.
“Yes! Ayo kita main, Mei!”
Tanpa permisi dan tanpa menunggu aku mengiyakan, laki-laki itu membawaku menjauh dari Tisela. Kakinya terus melangkah ke arah timur, menuju sebuah taman kecil yang penuh dengan rumput dan beberapa pohon bunga.
“Tisela!” rengekku ketakutan.
“Abril! Hati-hati jangan sampai Mei ketakutan!” seru Tisela yang terus terlihat semakin kecil.
“Oke! Tenang saja!” laki-laki bernama Abril itu mengangkat satu jempol tangannya tanpa menoleh.
Aku hanya pasrah karena tak ada gunanya melarikan diri. Terlebih karena Tisela-lah yang mengizinkan Abril membawaku. Laki-laki berkaos putih itu tampak sangat senang, senyum lebar tak sedetik pun absen dari wajah chubbynya.
“Nah, Mei, main sini, ya!”