Perjalanan kami tidak terlalu lama. Dari celah keranjang aku bisa melihat tempat-tempat baru yang asing. Ada banyak sekali yang belum kuketahui dari dunia yang luas ini. Beberapa hari lalu setelah bertemu Pus, aku memutuskan untuk tetap tinggal bersama Tisela. Menjadi liar memang seru, mungkin juga menyenangkan. Tapi aku tidak yakin dapat bertahan dan mendapat makanan terjamin sebagaimana berada di dalam rumah.
“Sampai, Mei,” suara Tisela terdengar dari luar keranjang.
Aku terus memerhatikan, sebuah halaman rumah yang cukup luas. Tidak banyak kendaraan terparkir, hanya milik Roma dan satu lagi entah miliki siapa. Roma lebih dulu berjalan masuk, diikuti Tisela yang membawaku di dalam keranjang.
Di depan pintu masuk, Roma berhenti sambil kepalanya mendongak membaca sesuatu. Aku terus mengintip, berusaha tidak ketinggalan satu detik pun kegiatan Roma dan Tisela.
“Sel, hanya satu orang yang boleh masuk,” kata Roma selesainya membaca kertas yang menempel di pintu kaca.
“Jadi siapa yang akan masuk?” tanya Tisela.
“Siapa?” Roma balik bertanya dengan kening berkerut.
“Aku saja, lah!” Tisela memutuskan cepat, “Mei lebih akrab denganku,” lanjutnya.
“Oke-oke.”
Roma tertawa mendengar alasan itu, tawanya lebih keras dari biasa. Aku duduk diam, mendukung keputusan Tisela karena aku memang lebih dekat dengannya ketimbang Roma. Jika terjadi apa-apa, aku bisa mengandalkan Tisela untuk menyelamatkanku.
Tepat sebelum Tisela melangkah masuk, Roma menarik pergelangan tangannya hingga keranjang tempatku berada, bergoyang tidak stabil. Rasa-rasanya kepalaku sedikit berputar akibat ulah Roma. Apa lagi yang diinginkan laki-laki itu? gerutuku dalam hati.
“Pakai antiseptik dulu,” ingat Roma.
Tanpa menunggu persetujuan, disemprotkannya sebuah cairan ke tangan dan tubuh Tisela. Cairan seperti air itu memunculkan bau menyengat seperti obat, aku mundur ke sudut keranjang.
“Jangan banyak-banyak, bau!” protes Tisela.
“Prosedurnya begini, Sel. Tuh, baca!”
Tisela menolehkan kepala pada kertas di dekat pintu, begitu pun aku. Meski tidak bisa membaca, aku bisa memahami gambar yang mengiringi tulisan. Jika tidak salah, di sana dijelaskan bahwa yang tidak disemprot dilarang masuk. Hukumnya wajib untuk menyemprot tangan dan tubuh dengan botol cairan yang sudah disediakan.
“Virus corona sudah semakin menyebar, ya, Rom, menyeramkan,” komentar Tisela selesai membaca kertas.
“Iya, makanya harus menjaga kebersihan.”
“Sepertinya dalam waktu dekat, kota ini juga akan lock down, deh.”
“Kurasa begitu, sekarang saja sudah mulai sepi, sudah banyak yang pulang.”
Tisela terdiam sesaat sebelum kemudian berkomentar, “kalau aku pulang kampung, bagaimana dengan Mei dan Moza?”
Wajah Roma tersenyum, “tenang saja, biar aku yang merawat mereka.”
Percakapan Tisela dan Roma membuat jantungku berdebar, sebersit perasaan takut lagi-lagi menyelinap. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Tisela harus pulang kampung dan menyerahkan aku dan Moza kepada Roma?
“Kau mau ke mana, Sel?” tanyaku dari dalam keranjang.
Tisela tidak menjawab, perempuan itu terus melangkah menuju pintu kaca gelap yang memantulkan bayangan. Tangan Tisela mendorong pintu, lalu melangkah masuk membawaku. Hawa dingin menyambut kami, menerobos bulu-bulu tebalku yang rasanya semakin panjang saja. Kulihat, Tisela tak bereaksi apa-apa, mungkinkah dia tida kedinginan dengan kaus panjang tipis itu?
“Selamat siang, selamat datang di Dokter Hewan Jogkriyan, ada yang bisa kami bantu?”
Seorang perempuan berbaju putih dengan kerah dan lingkar lengan biru menyambut, senyumnya mengembang.
“Mau vaksin, Kak,” sahut Tisela sembari meletakkanku di atas sebuah kursi panjang.
“Baik, isi data diri dulu, ya,” ucap perempuan itu.
Tisela melangkah mendekatinya, meninggalkanku sendirian di dalam keranjang. Kulihat, Tisela menulis sesuatu di atas kertas sambil berdiri menghadap perempuan asing itu. Terdapat meja panjang tinggi yang menjadi pembatas antara keduanya.