Mei Memories

Islaa Ed
Chapter #18

Sebelum Lock Down

Aku berbaring malas di atas ranjang Tisela, sementara perempuan itu sibuk membereskan almari. Biasanya aku merasa sangat tertarik untuk mengganggunya, dengan dalih membantu. Mendengar omelan Tisela yang begitu khas, kata-katanya yang penuh ancaman kosong, sungguh menyenangkan. Tapi entah kenapa, tubuhku terasa lemas dan aku mendadak berubah menjadi pemalas.

Akhir pekan sudah berlalu, hari Senin, seharusnya Tisela pergi bekerja seperti biasa. Entah apa yang terjadi, perempuan itu tak ke mana pun. Ia hanya duduk merapikan banyak hal, terutama baju dan buku-buku yang berserakan.

Moza berbaring di antara baju yang belum dilipat, menikmati kain-kain dingin itu seorang diri. Ekornya bergerak-gerak pelan, menyisakan sedikit bulu rontok di atas baju-baju. Aku yakin Tisela menyadarinya, namun perempuan yang saat ini berkaos dan bercelana pendek itu memilih abai. Ah, Tisela memang selalu bersikap baik kepada kami, seberapa pun menjengkelkannya aku dan Moza.

“Kenapa tidak kerja, Sel?” tanyaku dari atas ranjang.

Tisela bergeming, aku sadar dia tidak memahami kalimatku. Semakin ke sini, semakin aku menyadari perbedaan dunia yang begitu jauh antara aku dan Tisela, juga seluruh penghuni rumah ini.

“Mei, tidak lapar? Dari pagi hanya Moza yang terus makan,” ucap Tisela tanpa menoleh ke arahku. Tangannya terus sibuk melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam almari, sebagian lain ke dalam kardus besar.

“Entahlah, aku kehilangan napsu makan. Hanya ingin berbaring saja,” jawabku malas.

“Makan lah, Mei. Nanti sakit, loh ...” bujuk Tisela. Gerakannya berhenti melipat baju, lalu beralih menatapku. “Jaga kesehatan, ya, Mei,” lirih Tisela dengan senyum kecil.

“Tenang saja, aku selalu tidak lupa makan. Setiap lapar, hal pertama yang melintas adalah makanan,” sahutku.

Tisela kembali tersenyum, lalu meletakkan satu baju ke dalam kardus. Perlahan, perempuan itu mendekat dan mengusap kepalaku lembut. Cukup lama, entah apa yang ada dalam pikiran Tisela. Jarang sekali ia berlama-lama mengusap-usap kepala dan tubuhku. Tatapannya terasa sangat dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu.

“Sel! Kami pulang dulu!”

Suara Kuni terdengar diiringi suara bugh-bugh khas persegi gelap setiap kali ada yang melintas. Sejurus kemudian Kuni dan Hilda muncul, di punggung mereka terdapat ransel besar yang tampak berat.

“Jadi pulang sekarang?” Tisela bertanya dengan nada sendu, tangannya berhenti mengusapku.

“Jadi, Sel, sebelum lock down,” jawab Hilda, “kau kapan akan pulang?”

Tisela terdiam sesaat kemudian mengedikkan bahu pelan, “masih kupikirkan,” jawabnya.

“Pasti kau memberatkan Mei dan Moza,” tebak Kuni, “bawa saja mereka berdua bersamamu, Sel.”

“Inginku begitu,” Tisela beranjak dari duduk, berdiri berhadapan dengan Kuni dan Hilda. “Tapi tau lah, Roma tidak akan mengizinkan. Mereka berdua haknya, aku hanya merawat.”

“Uuhh!”

Kuni berseru lalu memeluk Tisela cepat, diiringi dengan tawa kecil ketiganya. Aku tetap berbaring dan memerhatikan, apakah mereka akan melakukan sebuah perjalanan?

Sejurus kemudian, Kuni beralih kepadaku. Diusapnya kepalaku dengan lembut dan ... cukup lama. Entah apa yang terjadi kepada mereka yang biasanya tak pernah memedulikanku. Bahkan Hilda yang biasanya acuh, juga ikut mengusap kepalaku. Selesai denganku, mereka juga mengusap kepala Moza yang diam memerhatikan.

“Dah, Sel! Kami pamit dulu,” Kuni memeluk Tisela sekali lagi, bergantian dengan Hilda.

“Hati-hati di jalan,” ucap Tisela lembut.

Lihat selengkapnya