Mei Memories

Islaa Ed
Chapter #19

Kepergian Tisela

Hari berganti, besok pagi Tisela akan melakukan perjalanan dengan besi raksasa. Katanya, besi raksasa yang selalu melintas di atas bantalan besi panjang itu bernama kereta api. Besok pagi Tisela akan pulang dengan memanfaat jasa transportasi tersebut. Tisela juga berkata bahwa ia akan menyapa saat kereta api yang ditumpanginya melintasi depan rumah.

Aku sangat sedih, maka seharian yang kulakukan hanya berbaring di atas ranjang. Memerhatikan Tisela melakukan persiapan perjalanan esok pagi. Di sela kesibukannya menata pakaian ke dalam koper, Tisela selalu menyempatkan diri menggodaku. Namun, tak ada gairah dalam diriku untuk menanggapinya. Percuma, toh kami akan segera berpisah.

“Kau lemas sekali, Mei,” komentar Tisela seraya menggenggam kedua tanganku.

“Aku sedih, Sel ... Aku sedih ...” lirihku tanpa beranjak dari posisi berbaring. Aku bahkan merasa tubuhku pun merasakan betapa kesedihan ini menggerogoti jiwa. Napsu makanku hilang sama sekali, selera bermainku lenyap. Sepanjang hari, aku hanya berbaring memerhatikan Tisela, tak ada lagi.

“Jangan begitu, Mei, kau harus sehat sampai aku kembali,” ucap Tisela. Bola matanya yang besar tampak berusaha tegar meski aku bisa menelisik kesedihan di dalam sana.

“Apa kau akan kembali, Sel?” tanyaku parau.

“Tentu saja aku akan kembali,” Tisela mempererat genggamannya kepada dua tanganku. “Asal Mei makan yang banyak, aku akan cepat datang,” hiburnya.

Aku mengangguk pelan, melihat Tisela memaksakan senyum. Tak ayal, air mata kembali merebak dalam netra perempuan cantik itu. Tisela meneteskan air mata, lagi-lagi menangis di depanku tanpa malu.

“Aku sayang Mei ...” lirih Tisela di antara sesenggukan.

“Aku juga,” jawabku tak kalah lirih.

Sore itu, kami berdua saling bertangis ria di atas ranjang. Tisela membiarkan barang-barangnya yang belum selesai dikemasi, tergeletak begitu saja. Kami memutuskan untuk menghabiskan waktu-waktu terakhir. Moza ikut bergabung beberapa saat kemudian, mengharu-biru dalam kalimat-kalimat sayang yang dilontarkan Tisela.

Sambil berderai air mata, Tisela bahkan mengajak kami bermain lempar tangkap. Ia tampak sangat bersemangat, meski aku tahu hatinya teriris pilu. Begitu pun dengan Moza, ia berusaha terlihat seriang mungkin untuk menyenangkan Tisela. Sementara aku, hanya berbaring memerhatikan.

Aku sama sekali tidak berminat memakai topeng kebahagiaan seperti mereka. Aku ingin Tisela tahu dengan jelas bahwa aku memang sedang bersedih atas niatnya ingin meninggalkan kami. Lagi pula, untuk apa berpura-pura? Kepura-puraan justru hanya akan menyakiti kami berdua lebih dalam lagi.

“Meei!”

Tisela menyebut namaku panjang sembari merebahkan tubuhnya begitu saja di atas ranjang. Aku sempat berjengit untuk menghindari tubuh Tisela yang bisa saja menindihku.

“Hati-hati, Sel!” Aku menggerutu kesal.

Tisela tertawa melihat ekspresiku yang pasti sangat lucu menurutnya. Kata Tisela, segala hal yang berkaitan denganku, adalah hal yang lucu. Perempuan itu memang sering kali menyebalkan. Akan tetapi, terkadang hal-hal menyebalkan itu lah yang membuat kita merindukan kehadiran seseorang.

“Mei, besok aku pulang, loh ...” goda Tisela sambil menarik-narik telingaku dengan gerakan lembut.

“Pulang saja!” jawabku ketus.

Tisela tertawa, namun sorot matanya tetap tak bisa menyembunyikan kesedihan. Aku menggerutu pendek, kenapa manusia senang sekali memakai topeng? Padahal, percuma saja mereka memakainya karena sorot mata tidak akan pernah berbohong. Kenapa tidak sekalian jujur saja?

“Tisela tidak ingin kau sedih, Mei. Jadi kau juga harus bersikap baik, jangan membuatnya sedih,” nasihat Moza seolah bisa membaca pikiranku.

Lihat selengkapnya