Pemandangan inilah yang terhampar di ruang makan hotel Park pada jam sarapan pagi: Tamu-tamu memenuhi meja-meja kotak kayu berpelitur tanpa taplak meja—mungkin untuk mengurangi biaya laundry kalau-kalau ada sesuatu yang tumpah—Di setiap meja ada empat kursi coklat berpelitur mengkilap. Makanan berderet rapi: berjenis-jenis roti di sebelah mesin pemanggang, mentega, madu, dan selai siap saji. Dispenser berisi jus dingin, teh, dan kopi. Nasi putih, bubur ayam, dan juga—pagi ini koki memilih menu—nasi goreng kampung.
Selama jam makan, para pelayan hilir mudik sambil memperhatikan meja. Bila ada piring yang sudah kosong di salah satu meja, tidak sampai tigapuluh detik mereka akan mengambilnya. Kadang sistem itu terasa mengganggu, terutama jika kalian sedang terlibat pembicaraan penting (atau rahasia) dan harus berhenti tiba-tiba karena takut pelayan itu menguping.
Pagi ini, diantara tamu-tamu ada seorang lelaki berperut buncit. Dia duduk di sebuah sudut, dekat kolam berisi ikan-ikan merah. Di mejanya ada cheese croissant, blueberry muffin, danish fruit, sweet softroll, lalu roti panggang dengan paket mentega siap saji ukuran kecil. Beberapa gelas berisi kopi dan krim, jus nanas dan secangkir susu dingin.
Namanya Azzuhri, usia akhir duapuluh, belum menikah, memiliki badan besar tapi bila dilihat sekilas saja tampak bertenaga.