“Jadi… kita mulai?” Elias menatap teman-temannya
“Mulai apa?” Kirani mengedarkan pandangan
“Permainan yang aku bilang itu….”
“Selesai makan lah!” Azzuhri menukas.
Elias menatap piring Azzuhri, masih tersisa tiga potong cheese croissant, dan dua blueberry muffin. Sementara di depan Elias ada piring kosong dengan sisa-sisa nasi. Di meja itu memang hanya mereka berdua yang makan. Kirani lebih memilih minum jus.
“Kau makannya lama!” Elias menyeringai.
“Dia lagi menikmati makanan, jangan diinterupsi. Makan itu harus dinikmati kan,” Kirani menjawab pelan, lalu meminum jusnya lagi sambil memandang ke ruangan sebelah, “kalau nggak dinikmati, buat apa kita makan?”
“Iya, tapi apa menikmati makanan sama dengan makan lama?”
“Saya lagi diet…” Azzuhri memasukkan potongan cheese croissant ke mulutnya, “kalian tahu nggak, kalau kita makan dengan lambat, maka porsi kita akan berkurang sampai tujuhpuluh persen, sebab perut jadi punya waktu untuk menyampaikan pesan ke otak bahwa kita sudah kenyang.”
“Buat aku tetap saja makanmu lama. Apalagi makanmu cuma kue-kue begitu, bukan nasi. Harusnya bisa cepat!”
Azzuhri menatap lurus, dia sudah terbiasa dengan mulut tajam Elias. Kadang bicaranya memang tidak menyenangkan, salah satunya lewat cara Elias memanggil Azzuhri.
“Su… heh, Asu, kok malah melamun?”
Azzuhri mengelengkan kepala, sudah lelah rasanya dia mengingatkan Elias, tapi memang dia orangnya begitu. Dulu di kampus, tinggal tanya saja siapa teman sejurusan yang paling banyak berkelahi? Jawabannya: Elias Abraham. Lalu siapa yang paling sering dicari untuk dipukuli? Jawabannya pun sama: Elias Abraham. Kebanyakan masalah dimulai dari mulutnya. Tapi Azzuhri tahu Elias sebenarnya orang baik, hanya saja dia terlalu sering mendahulukan bicara daripada berpikir.
Elias menoleh ke arah Kirani. “Kapan kamu datang ke Jakarta?”
“Baru seminggu, aku numpang dulu di rumah teman.”
“Mau lama disini?”
Kirani menggeleng. “Aku tidak suka Jakarta, terlalu gerah. Disini aku bisa mandi lima kali sehari.” Kirani meneguk minumannya, “Kamu sendiri, kenapa bisa betah di Jakarta? Kamu lihat apanya sih? Kamu penulis kan? menulis bisa dilakukan di mana saja toh?”
“Mungkin, aku terikat di kota ini… oleh sesuatu.” Sekejap Elias seperti merenung, tapi detik berikutnya dia kembali normal. “Kamu tidak datang ke Jakarta hanya untuk urusan ketemuan kita ini kan?”
Kirani menggeleng. “Aku ada urusan lain, kebetulan tanggalnya pas.”
Pembicaraan mereka terputus beberapa lama, masing-masing seperti kehilangan bahan obrolan. Sementara itu ruang makan mulai penuh oleh para tamu yang baru turun dari kamar masing-masing. Kirani memandangi mereka yang baru datang, sampai dia teringat sesuatu, lalu menoleh ke arah Azzuhri
“Ri, kamu sudah beberapa kali ya sarapan di sini?”
Azzuhri mengangguk
“Sengaja ke sini? Atau…”