“Jadi kita mulai? Siapa yang pertama?” Elias mengedarkan pandangan.
“Kamu dulu lah, kamu yang punya ide kan? sekalian kasih contoh.”
“Ah, sudahlah biar saya dulu… saya penasaran sama permainan ini, dan sepertinya menarik. Bisa saya coba di kantor nanti kalau ada staff baru.” Azzuhri berhenti sejenak, “Jadi, saya tinggal mengeluarkan sebuah pernyataan, begitu?”
Elias mengangguk, “Tapi nanti kita akan tanggapi, sesuai kesepakatan.”
Azzuhri mengangguk lagi. Dia memilah-milah, kisah hidup sebelah mana yang harus dia utarakan, atau mungkinkah lebih baik mengarang cerita bohong saja di kesempatan pertama?
Azzuhri baru sadar akan begitu banyaknya potensi pernyataan yang mungkin dia keluarkan. Dalam hidupnya sudah banyak waktu yang terlewat, sudah tidak terhitung orang-orang yang berpapasan dengannya, jutaan lembar cerita juga sudah pernah dia dengar. Itu semua membuat—di luar dugaannya—ternyata mengeluarkan sebuah pernyataan bisa lebih sulit dari seharusnya.
“Hei, kok melamun?” Kirani menatapnya, Azzuhri seperti tersentak.
“Oke, sorry… ini saja deh,” kembali diam sejenak, “Saya pernah membunuh orang!”
Elias mengangkat alis, Kirani Mengerutkan kening. Sejenak di meja itu tidak ada yang bicara, sampai Elias membuka mulutnya, “Mengejutkan, orang kalem seperti kamu memilih pernyataan seperti itu?”
Kirani masih mengerutkan kening, “Kalau penilaiannya dilakukan sekarang, aku pasti bilang kamu bohong!”
“Kenapa? Saya terlalu baik buat jadi pembunuh?”