“Ronde dua?”
“Iya, langsung saja… siapa dulu?”
Elias mengacungkan tangan, “Aku saja, dan ini pernyataanku: Aku pernah main hompimpa dengan taruhan pindah agama!”
“Wow… terus... kamu menang?”
Elias menggeleng, “Aku kalah…”
“Kamu kalah?”
Elias mengangguk “Aku kalah, dia menang, jadi aku yang pindah agama.”
Azzuhri tertawa, Kirani sebaliknya, mengerutkan kening.
“Eh, sebentar dulu, aku tidak paham. Ini bukan suit batu-gunting-kertas… tapi hom-pim-pa, dari kalimatmu kesannya lawanmu cuma satu orang. Iya kan?
“Kenapa kamu lebih tertarik pada fakta hom-pim-pa? dan bukan fakta pindah agama?
“Intinya kalau hompimpa kamu itu bohong, maka pindah agamanya juga bohong.”
Elias bersandar, tersenyum puas, “Kamu teliti sekali... cerdas!”
“Terimakasih, dari dulu sih…” Kirani tertawa.
Azzuhri menukas, “Jadi sebenarnya ada hompimpa atau tidak sih?”
“Aku kira tidak Ri, Dia penulis, biasa berimajinasi, biasa pakai kata-kata bersayap. Jadi aku yakin hompimpa ini artiannya lebih luas lagi.”
“Kirani, kamu mulai berusaha mempengaruhi pendapat orang.”
“Lho, tidak boleh ya?”
“Sebenarnya tidak boleh… keputusan harus diambil secara pribadi dari diri tiap pemain. Tapi ya sudahlah, tak apa-apa. Jadi ini bagaimana menurut kalian?”
Azzuhri memandang Elias, “Saya belum punya keputusan, boleh tanya beberapa hal?”
“Silahkan…”
“Saya malah lebih memikirkan soal pindah agama. Andaikan pernyataan kamu benar maka kamu pasti sekarang bisa bilang: agamamu apa?“
“Besok pagi jadwalku pergi ke gereja…”
Suasana hening, Kirani mengangkat alis, Azzuhri mengerutkan kening, Elias menyeringai “Kok sepi? kaget?”
Azzuhri mengerutkan kening Kirani menggeleng “Aku tetap punya satu pertanyaan lagi!”
“Apa?”
“Siapa lawan main hompimpa mu?”