“Saya penasaran,” Azzuhri menyela, “apa sih rasanya pindah agama?”
Elias mengerutkan kening, tapi sejenak kemudian raut wajahnya kembali normal. “Rasanya seperti pindah dari kamar tidur ke ruang tamu.”
“Maksudnya?” Ya, kamu dapat suasana yang berbeda… kamar tidur dan ruang tamu serba beda kan? Perabotnya, luasnya, mungkin juga cat temboknya, tapi kamu tahu kalau itu masih di rumah yang sama. Artinya, mungkin… bagaimana ya… aku tidak pernah memikirkan ini sih…”
“Pikirkan kalau sempat!” Kirani menyela
“Kenapa?”
“Aku kira pindah agama tidak sesederhana pindah ruangan.”
“Bisa dijadikan sederhana?”
Kirani menggeleng “Pindah agama, terutama dalam adat budaya kita itu konsekuensinya besar lho, banyak hal yang perlu dipertimbangkan, artinya secara tidak langsung itu bakal mempengaruhi ritme hidup juga. Masa sih tidak ada pengaruhnya sama sekali?”
Elias menggeleng “Itu cuma terjadi kalau orang itu mengumumkan kepada dunia apa agamanya. Artinya selama tidak ada pengumuman, kita cenderung menganggap orang itu agamanya sama dengan kita. Iya kan?”
Azzuhri mengangguk “Jadi kalau orang tidak tahu apa agamamu, mereka juga tidak tahu kapan kamu pindah agama, kamu bisa bebas pindah-pindah agama semaumu dan orang tidak akan protes, begitu?”
“Tepat!” Elias mengangguk puas
“Tapi kan agama bukan mainan!” Kirani meninggikan suaranya, “malah kalau aku kira penting lho mengumumkan pada dunia apa agama kita, supaya dari kitanya sendiri ada kehati-hatian. Ada semacam kontrol.”
“Terus yang bilang agama itu mainan siapa?”
“Ya nggak sih, tapi kan menciptakan kondisi supaya bebas pindah-pindah agama itu kan sama saja menciptakan peluang untuk mempermainkan agama, seolah ganti agama itu seperti ganti baju. betul kan?”