Meja Bundar

Hendra Purnama
Chapter #13

Bagian 11: PUTARAN KEDUA

Kirani memandang dua lelaki di depannya, menimbang-nimbang. Sebagai perempuan dia merasa, rahasia adalah bagian dari dirinya, bagian dari kaumnya. Secret make a woman, womans. Termasuk rahasia mandinya. Karena tidak ada yang bisa dibagi jika sebuah perasaan hanya mampu dirasakan oleh diri sendiri.

Maka beginilah yang terjadi saat dirinya mandi: Saat air mengguyur kulit, ketika air menyapu segala rambut di tubuhnya, ketika itu Kirani merasa jutaan kotoran mengalir lepas, kotoran itu begitu banyak, begitu pekat, membuat air sisa mandi begitu hitam, begitu kental seolah lumpur rawa. Situasi memburuk ketika dia mencuci rambut, kotoran-kotoran itu ada di sana, mengalir lepas, membuat air mandi jadi lebih pekat, mereka turun, mengalir, berebutan menuju lubang pembuangan, dan setelah itu Kirani akan merasa bersih, untuk sejenak.

Ya, hanya sejenak, karena pengelihatan itu terulang setiap kali mandi. Begitu pekat, begitu berlumpur, begitu hitam, begitu menjijikkan! Lima kali sehari aku harus menghadapi pemandangan seperti itu, menyebalkan! Kenapa setelah “kejadian malam itu” badanku begitu kotor, begitu lengket? Begitu banyak noda? Begitu gatal? Begitu… mengerikan?

“Kamu punya gangguan kejiwaan mungkin ya?” Elias menyeringai

“Hm, apakah gangguan kejiwaan bisa berpengaruh pada pengelihatan?”

“Bisa, sering kita dengar kasus orang yang terganggu jiwanya terus dapat melihat yang aneh-aneh… eh, sebentar, maksudnya, kamu bisa melihat yang aneh-aneh begitu?”

Kirani mengangguk, tapi matanya menyigi sudut-sudut restoran, tidak berani menatap mata kedua temannya

Elias menoleh, “Aneh-aneh? bukan… lihat hantu kan maksudmu, Su?”

Azzuhri menggeleng, “Bukan, tapi semacam paranoid begitu. Ah, saya juga tidak paham betul. Tapi setahu saya pengelihatan orang yang kena gangguan jiwa itu berkaitan sama rasa takutnya. Kamu begitu?”

“Kalau aku bilang iya, gimana?” Kirani kini memandangi bibir gelas, menghitung sudut yang tak ada. Perasaannya makin gelisah. “Ya…” Azzuhri berpikir-pikir “tugas kita kan cuma menebak, apapun jawaban kamu ya akan jadi bahan pertimbangan. Begitu kan?” Azuhri menoleh ke arah Elias, yang ditengoknya malah duduk bersandar. Matanya lekat ke arah Kirani, seperti memikirkan sesuatu

Elias berpikir-pikir sejenak, dia teringat temannya, perempuan juga. “Aku punya seorang teman, perempuan. Namanya nggak penting lah ya. Tapi dia mungkin punya gangguan yang mirip-mirip.”

“Dia banyak mandi juga?”

“Bukan, tapi… ah, lebih baik aku cerita saja ya.”

“Jangan kepanjangan!”

“Ini singkat kok… jadi awalnya, dia kan kost, ibu kostnya senang sekali piara kucing. Banyak, sampai belasan ekor. Sejak dia kost disana, satu persatu kucing itu mati, tidak tiap malam, pokoknya dalam tiga tahun kucing ibu kost lenyap semua. Ternyata teman saya itu yang bunuh, lalu bangkainya dibuang di jalan raya, supaya dianggap kecelakaan tertabarak mobil. Kebetulan memang kucing-kucing itu memang nggak dikeram di dalam rumah, tapi dibiarkan bebas kemana-mana.”

“Kenapa bisa ketahuan?” Kirani mengerutkan kening

“Soalnya…” Elias menimbang-nimbang sejenak, “ah, bukan itu pertanyaan yang pas sekarang, tapi ‘apakah dia benci kucing?’mungkin itu.”

“Oke, apakah dia benci kucing?”

Lihat selengkapnya